Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Tegal

Asal-usul Warteg, Filosofi Orang Tegal Tercermin Dari Bentuk Bangunannya

Jika kita mendengar istilah "warung tegal" atau yang lebih dikenal sebagai "warteg," pikiran kita akan langsung tertuju pada warung.

Editor: rival al manaf
TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA
Omset Warteg Turun 70 Persen- Drajat salah satu penjual warteg Citra Muncul yang berlokasi di Jalan Ngesrep Timur V No 97, Banyumanik, Kota Semarang sedang melayani pembeli di targetnya, Rabu, (25/03/20). Akibat dampak virus Corona atau Civic 19 omsetnya turun hingga 70 persen, bahkan beberapa karyawan ya di rumahkan. (Tribun Jateng/Hermawan Handaka) 

TRIBUNJATENG.COM - Jika kita mendengar istilah "warung tegal" atau yang lebih dikenal sebagai "warteg," pikiran kita akan langsung tertuju pada warung makan dengan berbagai jenis lauk pauk yang diatur rapi dalam etalase kaca.

Warteg menjadi ikon dengan pilihan lauk yang variatif, harga yang terjangkau, dan porsi sajian yang melimpah sehingga bisa memuaskan perut yang lapar.

Tidak hanya terkenal di ibu kota, popularitas warteg kini telah merambah ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan mengadopsi model bisnis waralaba.

Namun, tahukah Anda bagaimana asal muasal warteg yang tahan banting melewati berbagai tantangan, termasuk pandemi dan fluktuasi ekonomi serta harga pangan?

Kehadiran Warteg: Titik Awal dari Urbanisasi

Sejarah warteg bermula pada sekitar tahun 1950 di Jakarta, ketika ibu kota Indonesia pindah dari Yogyakarta.

Pergantian ini memicu urbanisasi besar-besaran, di mana banyak penduduk Jawa Tengah bermigrasi ke Jakarta untuk mencari peluang dan pekerjaan baru.

JJ Rizal, seorang sejarawan, menjelaskan bahwa pada masa itu, terjadi banyak masalah dan bentrokan di Jakarta.

Seiring dengan pembangunan dan transformasi kota, muncul kebutuhan akan tempat makan yang cepat, mudah, dan ekonomis.

Hal ini juga terkait dengan upaya pembangunan oleh Soekarno, yang berusaha mengubah Jakarta dari kota kolonial menjadi kota nasional.

Bangunan ikonik seperti Monas, Jembatan Semanggi, dan Tugu Pembebasan Irian mulai dibangun.

Seiring dengan proyek-proyek ini, muncul kebutuhan akan makanan cepat saji yang memadai, dan warung-warung mulai bermunculan.

Peran Orang Tegal dalam Warteg

Pada awalnya, warung-warung tersebut diisi oleh orang-orang Tegal, daerah di Jawa Tengah.

Fenomena ini memberikan ciri khas pada warteg, di mana warung makan ini diidentifikasi oleh asal usul penjualnya, yaitu orang Tegal.

Seperti halnya tukang cukur dari Garut yang identik dengan daerah tersebut, para penjual makanan dari Tegal juga memberikan identitas unik bagi warteg.

Mayoritas orang Tegal yang merantau ke Jakarta saat itu adalah pekerja kasar, terutama kuli bangunan.

Mereka membawa serta istri dan keluarga ke Jakarta. Awalnya, warteg melayani kalangan blue collar atau pekerja yang tak memiliki keterampilan khusus.

Namun, dengan meluasnya persebaran warteg, pelanggan dari berbagai kalangan sosial datang untuk menikmati hidangan yang ditawarkan.

Filosofi Bentuk dan Nama "Bahari" dalam Warteg

Warteg memiliki ciri khas tersendiri dalam hal bangunan. Kedai warteg umumnya memiliki ukuran 15-20 meter dan dicat biru, yang mengingatkan pada laut.

Ini mengacu pada daerah asal mereka di Tegal, yang merupakan daerah pesisir pantai.

Bangunan warteg juga memiliki makna simbolis dalam tata letaknya.

Keberadaan dua pintu di sisi kanan dan kiri bangunan, yang menjadi ciri khas warteg, memiliki arti tersendiri.

Dalam pandangan budayawan Yono Daryono, dua pintu ini melambangkan keberuntungan dan rejeki berlimpah.

Penempatan dua pintu ini juga membantu mengurangi antrean pembeli.

Penggunaan lemari kaca untuk menampilkan lauk merupakan upaya memudahkan pembeli memilih tanpa mengganggu yang lain.

Penggunaan bangku panjang di warteg mempromosikan kesetaraan, di mana pelanggan dari berbagai latar belakang sosial bisa berbincang sambil menikmati hidangan.

Penggunaan kata "bahari" dalam penamaan warteg mengandung makna dari julukan Kota Tegal sebagai "Kota Bahari." Julukan ini merujuk pada lokasinya di daerah pesisir pantai.

Dari Warteg Lokal ke Waralaba

Warteg pertama di Jakarta dikelola oleh masyarakat dari desa Sidapurna, Sidakaton, dan Krandon di Tegal. Namun, usaha ini berkembang menjadi bisnis kuliner lokal dan meluas hingga di luar pulau Jawa.

Pada awalnya, warung ini lebih dipengaruhi oleh motif ekonomi, tetapi kemudian menjelma menjadi tradisi untuk mengubah nasib.

Kehadiran warteg di ibu kota semakin kuat sejak tahun 1970-an. Anggota komunitas dari desa Sidapurna dan Sidakaton, Tegal, memainkan peran penting dalam mengembangkan warteg di Jakarta.

Asosiasi Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) dibentuk untuk memajukan bisnis warteg, dan Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) didirikan sebagai wadah bagi pemilik warteg di seluruh Indonesia.

Kini, warteg telah bertransformasi menjadi bisnis waralaba yang dikenal di seluruh Indonesia. Model bisnis seperti Warteg Selera Bahari dan Warteg Kharisma Bahari menjadi populer karena menawarkan konsep warteg dalam format waralaba, memperluas jejak bisnis dan merangkul lebih banyak pelanggan.

Dari awal yang sederhana di Jakarta, warteg telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner Indonesia, membawa dengan itu cerita tentang urbanisasi, perubahan budaya, dan semangat berusaha untuk meraih kesuksesan. Dengan warisan budaya dan filosofi yang unik, warteg terus berkembang dan menemukan tempat istimewa dalam lidah masyarakat Indonesia.

 (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sejarah Warteg, Warung Makan Legendaris yang Punya Komunitas dan Merambah Bisnis Waralaba"

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved