Berita Regional
Sejarah Terbentuknya Pasukan Cakrabirawa hingga Akhirnya Dibubarkan
Sejarah terbentuknya Cakrabirawa.Satuan atau Resimen Cakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962.Pembentukan Resimen Cakrabirawa itu ditetapkan melalui
Penulis: Ardianti WS | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM- Sejarah terbentuknya Cakrabirawa.
Satuan atau Resimen Cakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962.
Pembentukan Resimen Cakrabirawa itu ditetapkan melalui Surat Keputuusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia No 211/Plt/1962.
Resimen Cakrabirawa berasal dari semua unsur ABRI baik Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian.
Untuk menjadi anggota Cakrabirawa tidak mudah dan melalui seleksi.
Proses seleksi secara fisik maupun mental, melalui tes tertulis dan psikotes yang harus dua kali dilalui sebelum diterima.
Bahkan, Jenderal Nasution pernah memberi arahan terhadap Kolonel Sabur yang kelak menjadi Komandan Cakrabirawa, agar para anggota Cakrabirawa ini merupakan orang-orang yang memiliki budi pekerti luhur serta disiplin yang baik.
Hal ini mengingat penting dan vitalnya tugas yang bakal dikerjakan.
Berdasarkan Lampiran Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI No 01/Plt/Th.1963 mengenai organisasi dan tugas Resimen Cakrabirawa, Resimen Cakrabirawa dibagi menjadi 3 bagian utama.
Bagin pertama yakni Detasemen Kawal Pribadi (DKP), bertugas mengawal keselamatan presiden beserta keluarganya secara langsung dari jarak dekat.
Bagian kedua, Detasemen Pengawal Chusus/Khusus (DPC) bertugas dalam hal pengamanan dan survei atas gedung, area atau wilayah dimana presiden dan keluarga sedang atau akan berada.
Bagian ketiga, Batalyon Kawal Kehormatan, bertugas melakukan penjagaan dalam arti luas yang berhubungan dengan pengamanan presiden beserta keluarganya, seperti melakukan penjagaan Istana Negara, gedung-gedung vital yang termasuk kompleks Istana dan gedung-gedung yang menjadi ruang kerja presiden.
Adapun inisiasi pembentukan Resimen Tjakrabirawa ini bermula dari adanya usaha percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.
Dikutip dari Kompas.com, ide membentuk Cakrabirawa muncul setelah adanya usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno saat sedang melaksanakan Shalat Idul Adha pada 14 Mei 1962.
Guna mewujudkan ide itu, Letnan Kolonel CMP Sabur menghadap ke Istana Merdeka dan memberikan laporan bahwa DKP berencana membentuk pasukan pengawal Istana Presiden yang lebih sempurna.
Letnan Sabur kemudian menghadap kepada empat Panglima Angkatan Bersenjata (AD, AL, AU, dan Kepolisian) untuk meminta satu batalyon prajurit terbaik dari setiap angkatan untuk ikut bertugas mewakili angkatan masing-masing dalam tugas mengawal Presiden.
Sabur dibantu beberapa perwira, di antaranya Mayor CPM Maulwi Saelan, Mangil dari Kepolisian, seorang mayor udara, dan seorang mayor laut.
Mereka sering rapat dan membahas pasukan pengawal presiden.
Bertepatan dengan hari ulang tahunnya 6 Juni 1962, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan No 211/Pit/1962 tentang pembentukan resimen khusus yang bertanggung jawab menjaga keselamatan pribadi Presiden dan keluarganya.
Sekaligus terbentuk Resimen Cakrabirawa.
Akhir dari Cakrabirawa
Masih mengutip repository.unair.ac.id, pasca peristiwa G30S PKI, anggota Cakrabirawa menjalani tugas-tugas berat.
Hal ini karena tugas pengamanan Istana Merdeka dan Istana Negara diserahkan dari Batalyon I KK kepada Batalyon II KK.
Penyerahan ini setelah sebagian anggota Batalyon I KK terlibat dan ikut serta dalam peristwa G30S.
Tugas pengamanan menjadi berat karena Cakrabirawa harus mengamankan Istana yang dikepung dan terancam dimasuki gelombang demonstrasi para mahasiswa dan pasukan tentara yang berasal dari Kostrad dan RPKAD.
Berdasarkan Maulwi Saelan dalam bukunya Kesaksikan Wakil Komandan Tjakrabirawa: dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66, pada saat Kabinet Seratus Menteri dilantik pada 24 Februari 1966, mahasiswa yang didukung oleh Kostrad dan RKPAD memblokade jalan masuk istana yang dilalui para calon menteri yang akan dilantik.
Mahasiswa dan tentara menguasai jalan menuju istana dan menahan mobil-mobil kemudian menggembosi ban-bannya.
Para calon menteri yang akan dilantik pun terpaksa berjalan kaki.
Para anggota Resimen Cakrawrawa yang memang ditugaskan menjaga Istana tetap melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya hingga acara pelantikan tetap bisa berjalan.
Resimen Cakrabirawa akhirnya dibubarkan pasca keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Tepatnya pada 23 Maret 1966 terbit Keputusan bersama keempar Menteri Panglima Angkatan (Darat, Laut, Udara dan Polisi) No 6/3/1966 yang memutuskan menyerahkan tugas menjamin keselamatan presiden dan keluarganya dari Cakrabirawa ke Polisi Militer.
Pada 28 Maret 1966, dilakukan serah trima tugas untuk menjami keselamatan pribadi/Presiden/Panglima Tertinggi ABRI beserta keluaranya dari Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa ke Brigjen Sudirgo, Direktur Polisi Militer.
Pasca penyerahan itu, Cakrabirawa dibubarkan dan anggotanya dikembalikan ke masing-masing angkatannya.
Selanjutnya tugas penjagaan Istana Presiden baik yang ada di Jakarta maupun di Bogor dan Cipanas digantikan oleh Satgas Pomad (Polisi Militer Angkatan darat) yang dipimpin oleh Kolonel CPM Norman Sasono.
Hanya anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi) yang terdiri dari personel Kepolisian yang masih dipercaya mengawal Bung Karno dan keluarganya.
Sosok Ishak
Beginilah sosok Ishak Bahar, saksi hidup peristiwa mengerikan dari gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI.
Mantan prajurit Cakrabirawa, Ishak Bahar melihat secara langsung dengan mata telanjang jasad para jenderal.
Ishak Bahar melihat jasad para jendral diturunkan dari truk ketika berada di Lubang Buaya.

Tak hanya itu, Ishak Bahar juga melihat langsung Sukitman, perwira polisi yang lolos dalam peristiwa G30S PKI.
Meski mengetahui peristiwa tersebut, Ishak Bahar tak mengetahui misi menghabisi sejumlah jenderal TNI AD itu.
Ketika itu, dia hanya mendapatkan perintah untuk mengawal Letkol Untung.
Apa tujuannya saat itu, Ishak Bahar pun tak mengetahuinya.
Ia baru mengetahui jika tujuannya ke Lubang Buaya, disanalah ia menyaksikan para Cakrabirawa membawa beberapa jasad jendral.
Cerita menurut kesaksian Ishak Bahar, seorang Sersan Mayor dari Batalion Cakrabirawa, pada 30 September 1965 sekitar pukul 18.00, ia tidak ditugaskan untuk menjemput para perwira TNI AD.
Ishak Bahar ditugaskan untuk mengawal Presiden Soekarno ke Mabes Teknisi di Senayan.
Setelah itu, Letnan Kolonel Untung, pemimpin Batalion I Cakrabirawa, meminta Ishak Bahar untuk mendampinginya ke Lubang Buaya.
Dengan persenjataan lengkap, Ishak mengawal satu kendaraan bersama Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief, seorang supir, dan ajudan.
Sesampainya di Lubang Buaya, Ishak diperintah untuk berjaga di sebuah rumah pondok.
Menjelang tengah malam, Ishak dikejutkan dengan kedatangan pasukan Cakrabirawa yang lain.
Mereka kemudian dibagi menjadi beberapa grup dan diberi tugas untuk menculik para perwira TNI AD yang sudah ditargetkan nama-namanya.
Keenam jenderal dan satu perwira TNI AD ini dibawa ke Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965.
Ada yang dibawa dalam keadaan hidup, ada pula yang sudah tidak bernyawa.
Tiga dari keenam perwira yang dibawa sudah dalam keadaan meninggal, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T. Haryono, dan Brigjen DI Panjaitan.
Sisanya dibawa dalam keadaan masih hidup.
Kemudian, para perwira yang diculik itu dibawa ke Lubang Buaya.
Betapa terkejutnya Ishak setelah ia melihat sejumlah jasad diturunkan dari truk yang membawa ketujuh perwira itu.
Lalu, sejumlah pasukan Cakrabirawa menurunkan seorang pemuda berwajah tegang.
Ia adalah Sukitman, polisi yang ikut diangkut bersamaan dengan penculikan para perwira.
Mengapa Sukitman ditangkap pasukan Cakrabirawa?
Nama Sukitman tidak pernah ada dalam daftar nama-nama perwira yang akan diculik oleh pasukan Cakrabirawa.
Namun sialnya, Sukitman ikut ditangkap padahal ia hanya seorang polisi biasa.
Pada malam itu, Sukitman kebetulan sedang melintas di depan rumah Mayjen DI Panjaitan, salah satu target utama penjemputan Cakrabirawa.
Sukitman yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi pun tiba-tiba ikut diangkut ke dalam truk menuju ke Lubang Buaya.
Sesampainya di Lubang Buaya, Sukitman diserahkan kepada Ishak Bahar dan diminta untuk mengeksekusi sang polisi.
Akan tetapi, setelah mendengar ceritanya, Ishak Bahar pun merasa kasihan, karena Sukitman tidak tahu apa yang terjadi.
Alhasil, Sukitman tidak menuruti arahan itu.
Ketika para pasukan Cakrabirawa sedang sibuk mengurusi jenazah para perwira, Ishak melepaskan Sukitman.
Ishak menyembunyikan Sukitman di dalam mobil jipnya.
Pada akhirnya, Sukitman pun berhasil selamat dari maut.
Meskipun Ishak tidak terlibat dalam proses penculikan dan pembunuhan para perwira TNI AD, ia tetap ditahan tanpa proses peradilan.
Masih di hari yang sama, 1 Oktober 1965, ia bersama dengan prajurit Cakrabirawa lain yang terlibat dalam G30S dijebloskan ke dalam tahanan.
Ishak dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang selama 17 hari. Setelah itu, Ishak Bahar dipindahkan ke Lapas Salemba hingga dibebaskan 13 tahun kemudian.
Serma Boengkoes
Serma Boengkoes adalah salah satu pelaku langsung dari Tragedi 30 September 1965 yang ditugaskan untuk menculik Mayjen MT Haryono.
Dalam misi penculikan tersebut, Serma Boengkoes menjabat sebagai Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang berada di bawah Letkol Untung. Dia mengaku hanya menjalankan perintah atasannya yaitu Lettu. Doel Arief.
Pada 29 September jam 15.00 WIB, Serma Boengkoes mendapat perintah untuk melakukan penculikan terhadap Dewan Jenderal. Dewan Jenderal ini memiliki tujuan ingin mengkudeta Soekarno.
Ketika ditanya apakah Boengkoes mengerti dengan yang dimaksud "Dewan Jenderal", dia menjawab dalam masa G30S tersebut ada dua kubu yang tampak-nya sedang berkonflik dalam kemiliteran terutama di Angkatan Darat. Yaitu apa yang disebut sebagai "Dewan Jenderal" dan "Dewan Revolusi".
"Dewan Jenderal" adalah yang berniat melakukan coup pada Presiden Soekarno sedangkan "Dewan Revolusi" adalah yang berniat menyelamatkan Presiden Soekarno. Menurut Boengkoes ada ketidakserasian dalam Angkatan Darat tidak hanya menyangkut Soekarno.
Pada dini hari menjelang subuh, tiga truk yang yang dipenuhi tentara berangkat menuju rumah MT Haryono di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sesampainya di lokasi, Sersan Boengkoes, yang menjadi komandan peleton, turun lebih dulu untuk mengetuk pintu rumah MT Haryono.
Pintu tersebut dibuka oleh istri MT Haryono. Boengkoes pun mengatakan jika MT Haryono harus menghadap ke Presiden Soekarno sekarang juga.
Istri Haryono mengatakan bahwa suaminya akan segera menyusul, dan meminta para prajurit berangkat ke Istana terlebih dahulu. Namun, Boengkoes tetap bersikeras menunggu.
Haryono pun segera merebut selongsong salah satu tentara yang masuk ke kamarnya. Namun Haryono ditembak oleh Sersan Boengkoes. Haryono masih hidup saat itu. Namun dalam perjalanannya menuju kediaman Soekarno, Haryono tewas.
Haryono bersama dua perwira TNI-AD lain, yakni Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen D.I. Pandjaitan, dibawa dalam keadaan sudah tak bernyawa pada 1 Oktober 1965.
Pada 3 Oktober, tiga mayat jenderal itu ditemukan di dalam sumur di Lubang buaya. Empat jasad jenderal lainnya juga ditemukan di situ.
Atas perkara tersebut, Sersan Mayor Boengkoes dipenjara di LP Cipinang selama 33 tahun.
Dia dibebaskan dari LP Cipinang pada tanggal 25 Maret 1999.
(*)
Baca juga: Heboh Siswa Mesum Melecehkan Guru Wanita, Caranya Menggambar Wanita Telanjang di Papan Tulis
Presiden Prabowo: DPR Cabut Tunjangan hingga Kunjungan Luar Negeri |
![]() |
---|
Respons Ahmad Sahroni Usai Dua Rumahnya Dijarah: Saya Tidak Terima! |
![]() |
---|
10 Fakta Penjarahan 2 Rumah Ahmad Sahroni, Jam Tangan Rp 11 Miliar hingga Mobil Tesla Lexus Dirusak |
![]() |
---|
Uang Rupiah dan Dollar di Brankas Milik Ahmad Sahroni Hasil Jarahan Disawer: Ijazah pun Diambil |
![]() |
---|
TNI Diam Saja, Rumah Ahmad Sahroni Dijarah dan Dirusak Massa: Ada yang Bawa Patung Iron Man |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.