Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

LIPSUS Prostitusi Online di Semarang : PSK Layani Pria Hidung Belang di Kamar Kos atau Hotel

Sekarang ini prostitusi online makin menjamur. Pekerja seks perempuan (PSP) menjajakan dirinya sendiri dengan blak-blakan siap melayani pria hidung

Penulis: iwan Arifianto | Editor: Catur waskito Edy
Tribunnews
Ilustrasi PSK Online 

TRIBUNJATENGSEMARANG, TRIBUN - Sekarang ini prostitusi online makin menjamur. Pekerja seks perempuan (PSP) menjajakan dirinya sendiri dengan blak-blakan siap melayani pria hidung belang di hotel atau kos-kosan.

Mereka menawarkan diri melalui aplikasi Michat yang sudah tak asing lagi bagi pria haus hiburan.

Layanan prostitusi bermigrasi dari lokalisasi (yang telah ditutup) ke aplikasi online kemudian transaksi syahwat ini dieksekusi di kamar kos maupun hotel yang telah disepakati.

Tindakan mereka nyaris tak bisa dijerat hukum karena perempuan (PSP) menjajakan dirinya tanpa melalui muncikari.

Transaksi juga dilakukan PSP sendiri dengan pria hidung belang, tanpa perantara.

Tribunjateng.com coba mengaktifkan aplikasi Michat yang acapkali digunakan para lelaki hidung belang untuk mencari PSP di tiga hotel melati yang disinyalir menjadi lokasi esek-esek.

Begitu aplikasi diaktifkan di dekat hotel tersebut maka akan tampak belasan perempuan menawarkan jasa seks dengan tarif berkisar Rp 400 ribu hingga Rp 600 berdurasi 1 jam.

Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PW Muhammadiyah Jawa Tengah, AM Jumai mengatakan, berdasarkan informasi baik dari media sosial maupun dari laporan masyarakat saat ini penutupan lokalisasi Sunan Kuning (SK) dan Gambilangu (GBL) menggeser pemasaran para PSP ke silent promotion baik online maupun getok tular.

"Di Kota Semarang PSP kian main lincah mereka membangun pemasaran sistem online sebagai jejaring," ujarnya, Kamis (28/9/2023).

Ia menilai, butuh peran keterlibatan masyarakat dan kepolisian di tingkat kelurahan yakni Bhabinkamtibmas untuk bisa mendeteksi terhadap aktivitas prostitusi online. Sebab, meskipun pemasaran secara online tapi eksekusi akan dilakukan secara offline.

"Petugas bisa melihat dan memantau dari sisi keberadaan kos-kosan, hotel melati atau tempat usaha yang dijadikan arena seperti itu," kata H. AM Jumai.

Ia yakin kepolisian yang memiliki perangkat canggih bisa mendeteksinya lalu saling koordinasi dengan berbagai pihak untuk menindaklanjuti aktivitas tersebut.

"Semua pihak harus serius dan kerja keras untuk mendetaksi secara komprehensif," terang Jumai yang juga Ketua Forum Komunikasi Ormas Semarang Bersatu (FKSB) ini.

Mirip Judi Online

Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jateng Kombes Dwi Subagio mengatakan, pembarantasan prostitusi online akan dilakukan sama seperti judi online.

Pihaknya mempersilahkan masyarakat mengadukan praktik-praktik tersebut melalui Satuan Wilayah bisa Polsek maupun Polres.

"Penanganan kasus berapa di tahun ini perlu kami cek, yang jelas memang kami pernah menangani kasus prostisusi online tetapi masih perorangan bukan kelompok, misal ada temuan masyarakat laporkan segera ke kami nanti ditindaklanjuti," katanya.

Kebutuhan Ekonomi

Para pekerja seks perempuan (PSP) di Kota Semarang terjun ke dunia prostitusi online punya latar belakang dan alasan berbeda-beda. Namun demikian, mayoritas karena desakan kebutuhan ekonomi sehingga mereka terjerumus menjajakan diri.

Seperti dialami seorang perempuan di kota Semarang yang menjadi PSP akibat ditipu seorang lelaki. Sebelumnya, ia merupakan perempuan biasa yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART).

Namun, selepas mengenal seorang pria, ia diperdaya sehingga terpaksa menjadi PSP.

"Kami dapat aduan PSP tersebut pada September ini. Ia tak hanya ditipu tetapi alami pula kekerasan, diselingkuhi, hingga akhirnya terjerumus menjadi PSP, sekarang dia bekerja sebagai PSP online lewat aplikasi Wechat," kata Paralegal Officer Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Nurul Safaatun, Kamis (28/9/2023).

Ia menceritakan pula terdapat seorang perempuan yang terpaksa bekerja menjadi PSP lantaran ditinggal suaminya yang tak bertanggung jawab. PSP tersebut harus menghidupi lima anaknya sedangkan tidak memiliki keahlian dan berlatar pendidikan rendah.

"Mereka ketika ingin bekerja kerja formal pasti ditanyakan pengalaman dan ijazah. Dia itu ibu rumah tangga, ijazah SD mau kerja apa, tidak punya bakat keahlian," terangnya.

Ketika PSP sudah bekerja di lokalisasi kemudian tempat tersebut ditutup, mereka kini banyak yang beralih ke prostitusi online. Diakui Nurul, banyak perempuan PSP mengandalkan aplikasi online dan dating apps untuk mencari pelanggan.

Aplikasi tersebut dinilai lebih aman, bebas dari penertiban oleh aparat lantaran tempat praktik tidak diketahui oleh masyarakat umum.

"Di jalanan ada tawar menawar membuang waktu. Di online tidak habiskan waktu. Lebih privat lebih mudah," katanya.

Sulit Ditracking

Tetapi praktik prostitusi online menyulitkan para tenaga medis dan tim penjangkau untuk edukasi kesehatan Infeksi Menular Sex (IMS). Mereka menjadi susah ditracking lantaran tidak terorganisir.

"Misal semua kos-kosan kita cek penghuninya. Pemilik kos tentu keberatan, takut kosnya tak laku," bebernya.

Kendati begitu, para tim pendamping tetap melakukan edukasi kesehatan pengecekan rutin IMS seperti HIV, sipilis dan pemberian alat pengamanan. Terutama ke tempat hiburan seperti Sunan Kuning (SK), Gambilangu (GBL), dan Poncol.

"Saya sih hanya edukasi ke mbak-mbak untuk jaga kesehatan. Di Kota Semarang seperti di SK, GBL dan Poncol ada teman penjangkau yang melakukan edukasi dan pembagian alat kontrasepsi," ujarnya.

Ia mendorong pemerintah kota melakukan pendekatan ke tempat-tempat praktik PSP untuk memberikan edukasi kesehatan. Sebab, jangan sampai praktik tersebut tak terkontrol lalu angka HIV juga ikut tumbuh subur.

"Jangan sampai HIV tumbuh subur karena tracking hanya sekedar fokus di tempat hiburan seharusnya merambah pula ke tempat yang sekiranya menjadi keluar masuk transaksi prostitusi online seperti kos-kosan," ujarnya.

Dijual Pasangan

Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) mencatat selama Januari-Juni terdapat 30 PSP di Kota Semarang mengalami tindak kekerasan.

Puluhan perempuan tersebut dipaksa menjadi PSP oleh pasangannya. Mereka dijual melalui platform chatting online. Mirisnya, di antara meraka dipekerjakan sebagai PSP dalam kondisi hamil.

"Iya, ada kasus itu, total 30 orang yang kami data di enam bulan ini. Satu di antaranya ibu hamil 29 minggu (7 bulan) jadi PSP di kawasan karaoke Kota Semarang," ucap Nurul.

Korban dipaksa melayani pelanggan oleh pasangannya bila menolak melayani maka akan dihajar. Bahkan, kejadian terakhir perut korban yang sedang mengandung ditendang.

"Korban takut melapor hanya terdokumentasikan saja," paparnya.

Tak hanya itu, adapula PSP yang dipaksa melayani empat pria di hari yang sama meski kondisi tubuhnya telah lelah. Korban telah menolak tetapi pasangannya tetap memaksa lantaran sudah ada empat orang yang telah memesan di aplikasi pesan chatting.

"Korban sudah konfirmasi capek tetapi si pacar menargetkan harus mendapatkan uang sekian sehingga harus dilayani," terangnya.

Menurut Nurul, PSP menjadi kelompok rentan kekerasan tetapi para korban tak berani melaporkan situasi kerentanan yang dihadapinya. Mereka tidak memiliki keberanian sehingga suaranya tidak didengarkan. "Kami edukasi dan motivasi tapi tetap tidak berani melapor dengan beberapa pertimbangan," jelasnya.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi alasan para korban tak melapor. Di antaranya ketika melapor lalu melakukan visum baik polisi maupun dokter biasanya akan menormalisasi karena dianggap bagian dari risiko pekerjaan.

"Padahal mereka tidak memiliki cita-cita menjadi PSP," katanya. Alasan berikutnya, mereka belum sepenuhnya menjadi perempuan independen sehingga masih tergantung dengan pasangannya.

"Ada yang tak mau melapor karena alasan keselamatan anak," ucapnya. Kendati begitu, pihaknya melakukan pemantauan secara penuh para korban. Sembari terus mendorong para korban untuk melapor. "Kami pantau terus kalau bisa mereka segera melapor," terangnya.

Data di SPEK-HAM, tercatat 30 perempuan lebih diperdagangkan selama enam bulan terakhir. Sedangkan jumlah PSP di kota Semarang mencapai 1.000 orang. Jumlah paling banyak di kecamatan Semarang Barat.

Takut Melapor

Advokasi Officer SPEK-HAM, Boni Nainggolan mengatakan, berdasarkan data SPEK-HAM Maret sampai Juni 2023 terapat lima (5) kasus kekerasan yang dialami oleh populasi kunci saat melakukan pekerjaannya di tempat hiburan.
Di antaranya PSP dipaksa harus melayani empat orang pelanggan dengan cara dipaksa akan tetapi korban diancam agar tidak melapor.

Juni 2023 ini ada kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV yang mengalami KDRT oleh pasangannya karena pasangannya cemburu. Ibu rumah tangga yang dipaksa oleh pasangannya untuk jadi perempuan yang dilacurkan dan memiliki Infeksi Menular Sex (IMS).

"Kami harap tidak ada diskriminasi saat populasi kunci melaporkan kejadian kekerasan yang mereka alami serta bisa memberikan rasa aman bagi pelapor," katanya.

Keberadaan populasi kunci di Semarang seperti orang ODHI dengan HIV (ODHIV) Pekerja Sex Perempuan (PSP) dan komunitas rentan lainnya wajib menjadi perhatian dari pemerintah. (tim/iwn)

Baca juga: Mode Serius Shin Tae-yong di Kualifikasi Piala Dunia 2026, Sebut Lawan Brunei Seperti Argentina

Baca juga: Masrifan Djamil Wakafkan Rumah Warisan Orangtuanya di Jepara untuk Poska Koalisi Perubahan

Baca juga: Ini 8 Titik Drainase di Kota Semarang yang Direvitalisasi, Antisipasi Banjir Saat Musim Hujan

Baca juga: Kebahagiaan Pesta Pernikahan Berakhir Duka Karena Kembang Api, Ratusan Orang Tewas Dalam Kebakaran

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved