Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Gubernur Jateng Dikritik LP2K, Usai Sebut Anak Kaget Makan MBG Spageti Karena Terbiasa Mi Instan

Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dikritis karena sebut perut siswa kaget karena mengonsumsi spageti menuai kritik.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG/Rezanda Akbar
ILUSTRASI MBG - Dropping MBG di Semarang. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi yang menyebut anak-anak “kaget perutnya” karena terbiasa makan mie instan lalu disajikan spageti dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai kritik keras.

Baca juga: Gubernur Ahmad Luthfi Sebut Anak Kaget Makan Spageti, Ahli Gizi Undip: Cara Olahnya yang Salah

Ketua Lembaga Pendampingan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Jateng, Abdun Mufid, menilai pernyataan mantan itu justru mengalihkan persoalan pokok yakni lemahnya standar keamanan pangan dalam penyelenggaraan MBG.

“Pak Gubernur lupa bahwa anak-anak sekarang sudah biasa makan spageti. Jadi jangan ngeles. Persoalannya bukan di menunya, tapi di ketidaksiapan penyedia yang berdampak pada rendahnya keamanan produk,” tegas Mufid saat dihubungi Tribun Jateng, Jumat (10/10/2025).

Menurutnya, pemerintah tidak bisa menyederhanakan kasus keracunan massal dengan menyalahkan kebiasaan konsumsi anak. 

Sebab, para siswa penerima MBG adalah konsumen yang memiliki hak atas keamanan pangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

“Walaupun disebut makanan gratis, itu tetap dibayari pemerintah. Artinya, siswa tetap berposisi sebagai konsumen yang berhak atas keamanan dan keselamatan produk,” ujarnya.

Ia menilai lemahnya perhatian terhadap aspek keselamatan konsumen menunjukkan bahwa pemerintah belum menjadikan keamanan pangan sebagai prioritas utama. 

Padahal, anggaran MBG terbilang besar.

“Kalau programnya dikejar target tanpa persiapan matang, yang rugi masyarakat. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi soal tanggung jawab publik,” katanya.

Mufid menyebut kasus keracunan massal bisa terjadi karena sebagian besar Satuan Pelaksana Penyedia Gizi (SPPG) belum memenuhi standar higienitas dasar. 

Dari 1.596 SPPG di Jawa Tengah, baru 84 yang memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).

“Mayoritas SPPG belum bersertifikat SLHS. Klaim bahwa dapur sudah baik tidak cukup tanpa sertifikasi dari pihak berwenang,” tegasnya.

Ia menilai pelaksanaan MBG terkesan terburu-buru tanpa kesiapan penuh, mulai dari pengelolaan bahan baku, proses memasak, hingga distribusi makanan ke sekolah.

“Kalau prosesnya tidak berdasarkan standar keamanan pangan, ya wajar muncul kasus keracunan seperti sekarang,” ujarnya.

Mufid juga menyoroti adanya tekanan agar kasus keracunan MBG tidak dibesar-besarkan.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved