Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Gibran Maju Pilpres, Survei Kompas Ungkap Publik Memandang Negatif Politik Dinasti

Survei Litbang Kompas mencatat sebanyak 60,7 persen menyatakan "ya" soal terpilihnya Gibran untuk melaju ke pilpres sebagai bentuk politik dinasti

Editor: Vito
TRIBUNNEWS
Bakal Cawapres pendamping bakal Capres Prabowo Subianto yang diusulkan Partai Golkar Gibran Rakabuming Raka bersama melambaikan tangan ke arah wartawan usai melakukan pertemuan tertutup di Jakarta, Minggu (22/10/2023). 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Survei Litbang Kompas menunjukkan sebanyak 60,7 persen responden menyebut majunya Wali Kota Solo yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ke pilpres 2024 merupakan bentuk politik dinasti.

Seperti diketahui, Koalisi Indonesia Maju (KIM) telah mendeklarasikan Gibran sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) yang diusung untuk mendampingi Prabowo Subianto di pilpres 2024.

KIM tercatat merupakan koalisi terbesar saat ini, terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, dan Partai Prima.

Dikutip dari survei Litbang Kompas pada Senin (23/10), sebanyak 60,7 persen menyatakan "ya" ketika ditanya terpilihnya Gibran untuk melaju ke pilpres sebagai bentuk politik dinasti. Sementara itu, 24,7 persen lainnya menyatakan bukan bentuk politik dinasti, dan 14,6 persen responden menyatakan tidak tahu.

"Bagaimanapun, wacana soal politik dinasti masih dipandang negatif oleh publik. Sebagian besar responden memandang politik dinasti ini cenderung lebih mengedepankan kepentingan (politik) keluarga dibandingkan dengan kepentingan masyarakat," kata peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, Senin (23/10).

Meski demikian, menurut dia, sebagian besar responden juga menilai larangan terkait dengan politik dinasti sebagai bentuk membatasi hak politik orang lain.

Sebanyak 47,2 persen menyatakan demikian, sedangkan 41,9 persen menyatakan sebaliknya. Sementara 10,9 persen lainnya menyatakan tidak tahu.

Yohan menuturkan, praktik politik dinasti sudah terlihat ketika Gibran dan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, berlaga di pemilihan kepala daerah Kota Solo dan Kota Medan pada 2020.

Namun, isu itu belum begitu muncul, karena keduanya dipilih melalui kompetisi langsung, meski pesaing Gibran kala itu berasal dari calon perseorangan yang disebut-sebut sebagai pasangan calon "boneka", disiapkan khusus melawan Gibran.

Fenomena politik dinasti cenderung menguat usai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan usia minimal capres-cawapres dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu pada Senin (16/10) lalu.

Dengan begitu, MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah, atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

"Hal ini juga diperkuat dengan reaksi negatif dari sejumlah kalangan, termasuk dari mereka yang sebelumnya menjadi pendukung Jokowi," jelas Yohan.

Sebagai informasi, survei itu dilakukan dengan pengumpulan pendapat melalui telepon pada 16-18 Oktober 2023. Sebanyak 512 responden dari 34 provinsi berhasil diwawancara. Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Penggunaan metode ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian lebih kurang 4,35 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Meski demikian, kesalahan di luar pengambilan sampel dimungkinkan terjadi. Pengumpulan pendapat sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved