Refly Khawatir Hilangnya Esensi Adu Gagasan di Format Baru Debat Capres-cawapres
Sesuai dengan amanat UU Pemilu Pasal 277 Ayat 1, debat cawapres harus dilakukan terpisah. Atas dasar itu, format debat disebut tidak bisa diubah.
TRIBUNJATENG,COM, JAKARTA - Perubahan format debat capres-cawapres dalam tahapan pemilu 2024 terus menuai polemik. Kali ini, format yang diusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana rancangan KPU, dalam lima kali debat, pasangan capres-cawapres bakal selalu hadir bersamaan. Padahal, pada pemilu 2019, debat digelar spesifik meliputi debat capres-cawapres, debat capres, dan debat cawapres.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun menuturkan, sesuai dengan amanat UU Pemilu, debat cawapres harus dilakukan terpisah. Menurut dia, berdasarkan UU Pemilu 277 Ayat 1 bahwa debat capres dilakukan dalam lima tahap, yakni tiga debat untuk capres, dan dua kali untuk cawapres. Atas dasar itu, format debat tidak bisa diubah.
Ia berujar, aturan tersebut juga tidak bisa diubah, bahkan melalui kebijakan atau keputusan KPU. Dia menambahkan, jika capres mendampingi saat cawapres tengah adu gagasan dengan cawapres lain, hal itu bakal menghilangkan esensi dari adu gagasan tersebut.
"Karena yang diatur itu sendiri-sendiri. Kalau misalnya presiden mau hadir, silakan sebagai audiens, bukan orang yang mendampingi," katanya, ditemui di Jakarta Pusat, Senin (4/12).
Refly mengungkapkan, jika argumentasi yang dibangun ingin melihat kerja sama dari capres-cawapres, itu dipersilakan jika tidak melanggar UU. "Ini jelas UU mengatakan tiga kali capres, dua kali cawapres," tandasnya.
Menurut dia, jika debat cawapres ditemani dengan capres, hal itu berarti melanggar UU. "Kalau KPU bilang diatur porsi bicaranya, tidak bisa begitu, sulit praktiknya. Terlalu sulit di lapangan kalau nanti porsinya diatur," jelasnya.
Ia menegaskan, argumentasi KPU tersebut menghilangkan esensi debat capres antar capres dan cawapres versus cawapres.
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati mempertanyakan langkah KPU menghapus sesi debat khusus cawapres di pilpres 2024.
"Potret ini memperlihatkan pemilu kita benar benar dalam kondisi kritis. Nalar kewarasan dan akal sehat demokrasi sedang diuji. Indikasi untuk melindungi salah satu cawapres memang tidak mudah dibuktikan, tetapi sinyal ini sangat terasa mengarah ke mana," tuturnya, dalam keterangannya, Minggu (3/12).
Ia berpendapat, seharusnya KPU berdiskusi dengan para pakar sebelum secara sepihak mengubah format debat. "Seperti apa kiranya format debat yang dipandang ideal untuk bisa menggali gagasan capres-cawapres. Jangan sampai keputusan KPU ini membuat kecurigaan publik karena ada upaya melindungi salah satu paslon," tukasnya.
"KPU perlu menjelaskan secara transparan dan akuntabel kepada publik, bukan hanya sekedar alasan normatif. Kenapa bisa terjadi demikian? Debat ini kan fungsinya mengedukasi publik untuk meraih dukungan dan membentuk opini publik. Kalau yang dihadirkan salah satu saja, seperti tidak komperhensif jadinya," sambungnya.
Neni berharap KPU mengubah keputusannya dan mengembalikan format debat seperti sedia kala. Menurut dia, debat khusus capres dan cawapres perlu digelar terpisah, sehingga publik bisa mengukur kapabilitas masing-masing kandidat lewat gagasan-gagasan dan kemampuan debat mereka.
"Substansi dan gagasan harus dielaborasi dengan baik, sehingga bukan sekedar jadi jargon atau bahasa-bahasa kampanye simbolik. Debat kandidat ini kan hanya salah satu metode kampanye saja, selain pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, pemasangan alat peraga, dan penyebaran bahan kampanye," paparnya. (Tribunnews/Rahmat Fajar Nugraha/Chaerul Umam)
Information:
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.