Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Advertorial

Cara Ketua DPRD Salatiga Bung Dance Hadir di Masyarakat, Edukasi Pemilih dan Tanggapi Langsung Aduan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki sejumlah tugas dan fungsi meliputi mengawasi jalannya pemerintahan, melakukan penganggaran belanja.

Penulis: Reza Gustav Pradana | Editor: rival al manaf
istimewa
Ketua DPRD Kota Salatiga, Dance Ishak Palit. 

 


Dance juga memiliki mimpi memoles bagian lobi untuk bisa dijadikan ruang membaca dan permainan anak-anak. Di bagian tersebut terdapat ruang yang cukup luas untuk diletakkan rak-rak buku, serta wahana permainan bagi anak-anak. “Karena ini rumah rakyat, jadi bagi yang datang agar bisa merasa nyaman seperti rumah mereka sendiri,” kata Dance. Selain itu, berbagai macam ornamen ukiran kayu juga menghiasi langit-langit, pintu dan tembok-tembok. Lagu-lagu yang dimainkan di sana juga merupakan hasil dari karya seniman lokal dan bertema tentang Kota Salatiga. Dance berharap, hal itu bisa menjadi bentuk pengabdian  langgota DPRD Kota Salatiga kepada masyarakat.

 


Di bagian samping gedung DPRD Kota Salatiga, terdapat juga puluhan lapak bagi para pelaku UMKM. Dance berharap nantinya para pelaku UMKM bisa mempromosikan produk-produknya di sana. Selain itu, berbagai kegiatan juga sering digelar di halaman Rumah Rakyat. Berbagai macam komunitas, satu di antaranya komunitas fotografer di Kota Salatiga juga terpantau sempat menggelar kegiatan di halaman itu. Tampak hasil karya fotografi dipajang di sana.

 


Gencarkan Edukasi Kemandirian dan Kesadaran Politik Jelang Pemilu 2024, Sambangi Sekolah Ngobrol dengan Pemilih Pemula

 


Selain hadir di masyarakat dalam berbagai kebutuhan, Dance juga merasa memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Satu di antaranya edukasi tentang kemandirian dan kesadaran politik. Menjelang Pemilu 2024 mendatang, Dance menyoroti beberapa aspek kekurangan sistem Pemilu serta belum tercapainya kemandirian politik pada masyarakat. Dia mencontohkan, sebagian pemilih masih dengan mudahnya dimobilisasi tanpa memiliki independensi dalam memilih calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden. Bagi Dance, kemandirian politik adalah bagaimana seseorang tahu persis siapa yang dicoblos dan alasan mencoblos pilihannya.

 


Dia menggambarkan saat seseorang membeli motor di mana tentunya mempertimbangkan spesifikasi, kapasitas mesin dan lain sebagainya.

“Ketika pemilih mencoblos harus betul-betul kenapa memilih A, B atau C. Bukan berapa yang dikasih, bukan pinten (berapa) tapi sinten (siapa),” ungkap Bung Dance. Menurut dia, yang terjadi saat ini adalah sebagian besar pemilih akan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena dimobilisasi oleh iming-iming salah satunya faktor money politics atau politik uang. Kebanyakan pemilih masih pragmatis sehingga hanya memikirkan sesaat atau amplop yang diterima, namun tidak memikirkan nasib negara dalam lima tahun ke depan. Untuk itu, Bung Dance tengah berupaya menggelorakan pendidikan politik di berbagai elemen masyarakat.

 


Dance sempat mengunjungi SMAN 2 Salatiga. Dia mencoba berkomunikasi dengan para peserta didik kelas 12 yang tergolong sebagai pemilih pemula. Dari kunjungannya, Dance justru menyayangkan bahwa minat bidang politik pada remaja sangat rendah. “Pemuda lebih tertarik dengan bermain gim atau dunianya sendiri. Bahkan generasi Z ini tidak tahu siapa anggota DPRD Kota Salatiga kecuali ketuanya,” kata Dance. Dia juga menanyakan siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih oleh murid-murid di sana. Menurut dia, para pemuda saat ini lebih mudah terbawa pada sensasi, hal-hal yang sedang tren ataupun gimmick yang dilakukan tokoh politik. “Bahkan kalau ditanya pilih presiden siapa, mereka jawabnya gemoy. Jadi pikirannya hanya memilih pemimpin yang lucu-lucu begitu, suka menari, suka berjoget, tidak melihat track record. Padahal yang akan terpilih nanti yang akan memimpin lima tahun ke depan,” tegas dia.

 


Meskipun demikian, Dance dapat memahami karena adanya perkembangan teknologi di dunia digital yang berkembang pesat. Menurut dia, bagi yang tidak siap dan tidak berpikir secara mandiri maka akan mudah terbawa dengan sensasi. “Karena mereka tidak lahir pada 1998, mereka tidak merasakan reformasi terjadi, harga-harga naik begitu besar, banyak yang bangkrut dan lain sebagainya,” tambah dia. Satu di antara hal yang dia soroti yaitu kurangnya edukasi politik kepada para murid-murid. Menurut Dance, sekolah sudah dirancang sebagai lembaga pendidikan yang apolitik. Contohnya yaitu aturan pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang harus berjarak minimal 100 meter dari zona sekolahan. “Sehingga guru-guru dan peserta didik tidak terbiasa melakukan diskursus politik,” bebernya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Komentar

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved