Berita Kudus
Jejak Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di Gereja Tua Kayuapu Kudus
Bangunan gereja dengan dominasi warna kuning gading yang ada di Dukuh Kayuapu Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kudus
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, KUDUS – Bangunan gereja dengan dominasi warna kuning gading yang ada di Dukuh Kayuapu Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kudus ini menyimpan sejarah panjang penginjilan di lereng Muria. Gereja yang kini disebut sebagai Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Kayuapu ini usianya sudah mencapai 170 tahun.
Gereja yang menghadap ke selatan ini berdiri di atas lahan sekitar 1 hektare. Di sebelah barat bangunan gereja ada semacam menara yang semula terdapat lonceng tua yang sudah tergantikan oleh pengeras suara. Tepat di bawah menara ada kentongan sebagai alat komunikasi pada masanya. Sedangkan di belakang gereja terdapat tiga rumah. Dua rumah untuk pendeta yang satu untuk petugas kebersihan gereja.
Gereja Kayuapu bercorak menonit yang tergabung dalam Sinode GITJ ini kini memiliki jemaat yang jumlahnya hampir seribu orang. Sebagian besar merupakan warga lokal. Hampir setiap hari ada aktivitas peribadatan di gereja ini, sementara untuk ibadah umum terjadwal pada Minggu pagi dan Kamis malam.
Seiring dengan pasang surutnya dinamika perkembangan zaman, GITJ Kayuapu masih tetap bertahan sampai sekarang. Pernah mengalami masa-masa suram karena kualitas iman jemaat dan kuantitasnya berkurang, gereja ini juga merasakan pedihnya akibat perang dunia.
Saat ini GITJ Kayuapu dipimpin oleh seorang pendeta bernama Slamet Suharyanto. Lelaki asal Madiun Jawa Timur ini tercatat sebagai pendeta di Kayuapu sejak 2007. Pria tinggi tegap pemilik suara bariton ini mengisahkan bahwa GITJ berdiri karena era awal datang misionaris dari Belanda.
Berdirinya GITJ Kayuapu tidak didasarkan pada mulai dibangunnya bangunan fisik gereja. Tetapi didasarkan pada lahirnya iman warga sekitar yang memilih untuk menjadi Kristen dan dibaptis pada 26 Juni 1853 oleh seorang misionaris asal Belanda yang tinggal di Semarang yaitu Hoezoo. Empat orang warga Kayuapu tersebut yaitu Nuriman, Taruno, Singojoyo, dan Pramongso.
Slamet Suharyanto menjelaskan, iman Kristen warga Kayuapu merupakan buah karya dari seorang misionaris Belanda bernama Jellesma yang tinggal di Mojowarno Jombang. Jellesma yang juga disebut sebagai Rasul Jawa ini memiliki empat murid yaitu Ibrahim Tunggul Wulung, Yusuf Sajo, Tresnorogo, dan Filemon. Suatu ketika Sajo dan Tresnorogo melakukan safari pekabaran Injil ke Solo dan Semarang. Setelah itu ternyata dia mampir ke Kudus karena Sajo merupakan asli Kudus. Di Kudus inilah Sajo ketemu Nuriman yang merupakan kawan dekat sejak masa kecil dan mengenalkan Injil. Dari situ Nuriman beserta tiga orang Kayuapu lainnya Taruno, Singojoyo, dan Pramongso mengenal iman Kristen dan mulai tertarik untuk mengikutinya.
“Setelah itu Sajo dan Tresnorogo kembali ke Mojowarno dan melaporkan pada Jellesma bahwa di Kayuapu ada orang yang tertarik dengan iman Kristen,” kata Slamet Suharyanto saat ditemui di GITJ Kayuapu, Jumat (22/12/2023).
Mendengar adanya empat orang yang tertarik dengan iman Kristen akhirnya Jellesma mengabarkan hal tersebut pada kawan sesama misionaris yang ada di Semarang bernama Hoezoo. Dari situ kemudian Hoezoo membina empat orang ini dan akhirnya dibaptis pada 26 Juni 1853 sebagai pengikut iman Kristen.
Jejak Kiai Ibrahim Tunggul Wulung
Dari semula hanya empat orang Kayuapu yang mengimani Kristen, setahun kemudian bertambah menjadi 20 orang. Saat itulah inisiasi untuk membangun gereja sebagai tempat ibadah penganut Kristen di Kayuapu dimulai pada tahun 1854.
Di tengah inisiasi membangun tempat ibadah inilah Kiai Ibarhim Tunggul Wulung yang tinggal di Bondo Jepara datang. Sebagai murid Jellesma, Tunggul Wulung merasa perlu untuk memberikan saran kepada para warga baru penganut iman Kristen di Kayuapu.
“Saat itu Tunggul Wulung menyarankan agar sekalian membangun gereja di Kayuapu yang besar sekalian,” kata Slamet Suharyanto.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sebagai penginjil pribumi waktu itu juga dikenal memiliki insting spiritual yang kuat. Saran dari Tunggul Wulung dipenuhi meski perlu kerja keras untuk membangun gereja besar saat itu.
“Saran dari Tunggul Wulung untuk sekalian membangun gereja yang besar karena ke depan dinilai prospektif bagi jemaat,” kata Slamet.
Diakui memang penganut Kristen di Kayuapu waktu itu sempat bingung kalau harus langsung membangun gereja yang besar. Akhirnya setelah mulai dibangun pada 1854, program pendirian gereja ini mendapat sokongan dana dari Pabrik Gula Klaling Jepara meski tidak penuh. Setelah proses pembangunan berlangsung selama 10 tahun, akhirnya pada 1864 gereja Kayuapu berdiri.
Pada awal berdiri, pelayan iman di Gereja Kayuapu adalah Hoezoo. Dia harus rela berkuda selama 13 jam hanya untuk datang ke Kayuapu. Jarak itulah yang kemudian mengganggu Hoezoo untuk rutin datang ke Kayuapu. Akhirnya pelayanan iman Kristen diserahkan pada murid Hoezoo, Asakiman. Sedangkan Jellesma yang ada di Mojowarno juga mengirimkan muridnya ke Kayuapu yaitu Yusuf Sajo, Tresnorogo, dan Filemon untuk menjaga iman Kristen para pengikut di Kayuapu. Namun seiring berjalannya waktu mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Keadaan ini bertambah buruk saat Jellesma meninggal pada 1860. Hoezoo dari Semarang akhirnya pindah ke Mojowarno Jombang menggantikan Jellesma.
Singkatnya pada 1886 Hoezoo kembali bertugas sebagai pelayan iman Kristen di Semarang. Saat itulah dia kembali melakukan rutinitas ke Kayuapu. Hanya saja saat ini dia tidak lagi berkuda, tetapi sudah bisa memanfaatkan kereta api relasi Semarang-Kudus. Hoezoo rutin datang dua kali dalam sebulan ke Kayuapu. Namun seiring semakin tuanya Hoezoo fisik tidak lagi bisa diajak kompromi dan dia meninggal pada 2 Juli 1890. Sedangkan muridnya Asakiman yang semula mendampingi jemaat Kayuapu juga sudah meninggal.
Diserahkan pada Menonit
Sepeninggal Hoezoo dan Jellesma membuat kualitas dan kuantitas penganut Kristen di Kayuapu semakin lemah. Dua misionaris yang semula selalu memantau perkembangan ini telah mangkat. Akhirnya keberadaan Kristen di Kayuapu diserahkan pada corak menonit. Saat itulah Pieter Jansz seorang misionaris gereja menonit asal Belanda yang tinggal di Jepara mengambil kendali.
Perbedaan mendasar antara corak Kristen sebelumnya dengan menonit di antaranya yaitu jika Hoezoo dan Jellesma menganut aliran baptis bisa dilakukan sejak kecil, sedangkan corak menonit baptis hanya bisa dilakukan pada orang dewasa.
Saat pertama Kayuapu bercorak menonit pada 1 Juli 1898 jumlah jemaat yaitu sebanyak 20 orang dewasa dan 33 anak-anak. Sedangkan murid di sekolah gereja tinggal 44 anak. Berhubung Pieter Jansz tinggal di Jepara akhirnya untuk mengurus jemaat di Kayuapu diserahkan pada tiga misionaris yaitu Johan Hubert, Johan Klassen, dan Johan Gerald Fast secara bergantian untuk mengurus jemaat di Kayuapu. Kemudian pada 1901 Johan Gerald Fast ditetapkan untuk memegang Kayuapu secara tetap.
“Johan Gerald Fast inilah misionaris menonit yang pertama memegang Kayuapu,” kata Slamet.
Gerald Fast memiliki istri Jacoba Yohana Maria yang merupakan anak dari Pieter Jansz. Di tangan Gerald Fast jemaat di Kayuapu semakin tumbuh pesat. Dia juga membuat pelayanan kesehatan dengan membuka poliklinik di kompleks gereja. Poliklinik beroperasi 35 hari sekali setiap Kamis Legi.
Mertua Gerald Fast, Pieter Jansz yang sudah tidak lagi bertugas sebagai misionaris akhirnya pada 1901 dia ikut menetap di Kayuapu bersama Gerald Fast sampai meninggal. Selama masa tuanya, Pieter Jansz menghabiskan waktu untuk menerjemahkan Alkitab dari Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Jawa.
“Kurang lebih selama 20 tahun terakhir usianya Pieter Jansz habis untuk menerjemahkan Alkitab,” kata dia.
Setelah Gerald Fast tidak lagi memegang kendali jemaat Kayuapu sejak 1928, misi menonit di Kayuapu diteruskan oleh Hermas Smith. Jemaat kian tumbuh dan berkembang. Totalnya ada 227 orang penganut Kristen menonit tidak hanya ada di Kayuapu, bahkan sampai di Karangrowo Undaan.
Setelah beberapa kali dipimpin oleh misionaris Belanda, akhirnya penganut Kristen lokal di Kayuapu berpikir untuk mandiri menahbiskan pendeta. Saat rencana kemandirian itu muncul dan belum terlaksana, perang dunia kedua pecah. Kondisi kian buruk saat Jerman menyerang Belanda pada 10 Mei 1940.
“Karena di Belanda sana sedang dikuasai Jerman, akhirnya semua hubungan dengan Hindia Belanda terganggu, misionaris terganggu, dana tersendat. Itu mulai agak kolaps,” kata Slamet.
Parahnya kondisi akibat perang dunia tersebut membuat misi kemandirian terus dilancarkan. Akhirnya pada 24 November 1940 Gereja Kayuapu memiliki pendeta pertama dari warga lokal yaitu Wigeno Mororejo.
Jawaban Siswa SDN 1 Terban Kudus Bikin Syok Wabup Bellinda: Ada Iuran Bayar LKS |
![]() |
---|
Pembangunan Gedung Perpusda Kudus Tahap Pertama Rampung Akhir Tahun Ini |
![]() |
---|
Antisipasi Banjir, Pemkab Kudus Bangun Sistem Drainase Perkotaan di Depan Pasar Tokiyo Jepang |
![]() |
---|
Skuat Talenta Muda ASTI Gagal Bawa Piala Juara Soeratin Jateng 2025, Tatap Kompetisi Nusantara Open |
![]() |
---|
96 Anggota PKL CFD Kudus Dilatih Keterampilan Memasak |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.