Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Nasib Transpuan Semarang Jelang Coblosan: Jadi Bahan Diskriminasi

Kelompok transpuan juga rawan memperoleh diskriminasi. Terutama untuk kepentingan kelompok kanditat supaya mampu mendulang suara

Penulis: iwan Arifianto | Editor: Daniel Ari Purnomo
Iwan Arifianto
Ketua Persatuan Waria Semarang (Pewaris) Silvi Mutiari saat menata baju pengantin pesanan pelanggannya. Ia mengaku, menjelang coblosan timses dan caleg enggan mendekati kelompoknya, Kota Semarang, Selasa (13/2/2024). 

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Gegap gempita Pemilu 2024 tak pernah dirasakan bagi transpuan Semarang

Mereka tak pernah didekati tim sukses pasangan manapun. 

Begitupun para calon legislatif (caleg) juga ogah-ogahan mendekati mereka.

"Iya, kami tidak ada yang mendekati jelang coblosan ini," kata ketua Persatuan Waria Semarang (Pewaris) Silvi Mutiari, Selasa (13/2/2024).

Menurut Silvi, setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan para kandidat maupun timses tak mendekati kelompok mereka. Pertama, soal suara elektoral yang kecil dan tingkat partisipasi para transpuan.

"Dari 82 anggota kami, 40 persen  ber-KTP luar kota Semarang," bebernya.

Kelompok transpuan juga rawan memperoleh diskriminasi. Terutama untuk kepentingan kelompok kanditat supaya mampu mendulang suara dari lumbung pemilih tertentu. 

"Bisa dilihat di media sosial, banyak ditemukan konten-konten seperti itu (diskriminasi)," papar Silvi.

Kendati begitu, kondisi tersebut tak menyurutkan Silvi untuk menyambangi TPS pada Rabu 14 Februari 2024 , besok.

Tujuannya untuk memilih pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden hingga wakil rakyat yang paling ideal sesuai pilihannya.

"Kriteria ku tidak muluk-muluk. Hanya milih pasangan yang paham kesetaraan gender, dan melihat semua manusia itu sama di mata hukum, tidak radikal atau ekstrem," katanya.

Ia pun berharap, pasangan nantinya yang dipilih mampu memperjuangkan dua isu yang masih belum diperolah teman-teman transpuan yakni pendidikan dan pekerjaan.

Terkait pendidikan, kata dia, masih banyak diskriminasi dan stigma yang diperoleh transpuan. Mereka seringkali mendapatkan bullying dari lingkungan sekolah baik siswa maupun guru.

Tak heran, banyak transpuan yang memilih tak melanjutkan pendidikannya karena kondisi tersebut. "Misal tak bisa bikin konsep itu di sekolah formal, bisa kog lewat kejar paket yang ramah komunitas," katanya.

Isu berikutnya, lanjut dia, soal akses pekerjaan di sektor formal.  "Kami selama ini bisa kerja di sektor non-formal seperti saya buka jasa rias pengantin. Namun , untuk di sektor formal belum bisa," terangnya.

Terpisah, Perempuan Pekerja Pembela HAM dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Nurul Safaatun mengatakan, para kelompok minoritas seperti transpuan, pekerja seks perempuan (PSP) dan kelompok minoritas lainnya banyak yang apatis terhadap pemilu 2024. 

"Mereka ada hak pilih tapi kadangkala mereka menganggap memilih tak mengubah keadaan mereka," paparnya.

Ia menambahkan, nantinya siapapun yang terpilih  bisa mengangkat hak asasi manusia sebagai isu prioritas.

"kemudian penanganan kekerasan terhadap kelompok minoritas juga harus prioritas," imbuhnya. (iwn)

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved