Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Hari Perempuan Internasional, Perempuan Jurnalis Jateng Kecam Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan

Perempuan Jurnalis Jawa Tengah menyerukan beberapa tuntutan dalam rangkaian Hari Perempuan Internasional

Penulis: iwan Arifianto | Editor: muslimah
Perempuan Jurnalis Jawa Tengah
Perwakilan Perempuan Jurnalis Jawa Tengah saat melakukan orasi di panggung perempuan saat puncak peringatan IWD di Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Sabtu (9/3/2024). Mereka prihatin atas nasib beberapa jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. 

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Perempuan Jurnalis Jawa Tengah menyerukan beberapa tuntutan dalam rangkaian Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD).

Tuntutan itu mereka lakukan karena prihatin atas nasib beberapa perempuan jurnalis di Jawa Tengah yang menjadi korban kekerasan seksual.

Terbaru, ada seorang perempuan jurnalis dari sebuah perusahaan media regional cukup ternama di Jateng menjadi korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh ajudan petinggi partai. 

Mereka yakin kejadian serupa merupakan fenomena gunung es. Artinya, banyak kejadian di lapangan tetapi para korban enggan melaporkan dengan beragam pertimbangan.

Baca juga: Selamat Usai Buat Tanda Kepulan Asap, Inilah Sosok Kapten M Yusuf Pilot Smart Air, Akun Kini Dikunci

Baca juga: Dulu Terkenal dan Banjir Job, Artis Ini Bangkrut Sampai Nyaris Akhiri Hidup, Bertahan karena 1 Sosok

"Pelecehan seksual dalam berbagai bentuk itu diterima perempuan jurnalis dari berbagai pihak, mulai dari orang asing di jalanan, teman satu kantor maupun teman satu profesi, narasumber, pejabat, bahkan aparat penegak hukum," ungkap koordinator Perempuan Jurnalis Jawa Tengah, Kristi Dwi Utami, Senin (11/3/2024). 

Mengutip catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2023, setidaknya lima kasus kekerasan terhadap jurnalis dilaporkan ke Komnas Perempuan. 

Dari lima kasus tersebut, sebanyak tiga orang mengalami kekerasan di ranah personal dan dua orang di ranah publik. Bentuk kekerasan yang dialami beragam, mulai dari ancaman, serangan digital, hingga pelecehan seksual.

Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2M) dalam riset berjudul "Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia" yang menyurvei sebanyak 852 perempuan jurnalis di 34 provinsi pada September - Oktober 2022 mengungkapkan sebanyak 82,6 persen atau 704 responden pernah mengalami kekerasan seksual selama berkarir jurnalistik. 

Ada 10 jenis tindak kekerasan seksual terhadap perempuan jurnalis dan paling tinggi adalah body shaming secara luring, yakni sebesar 58,9 persen dan daring sebesar 48,6 persen.

"Di momen International Woman's Day, kami ini mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan jurnalis," imbuh Kristi. 

Pihaknya juga mengajak semua pihak turut berkontribusi dalam melindungi perempuan jurnalis. 

Hal itu dapat dilakukan setidaknya dengan mengupayakan penciptaan ruang aman bagi para perempuan jurnalis dalam bekerja dengan cara turut melindungi perempuan jurnalis dari ancaman kekerasan seksual dimana pun, kapan pun, dan dari siapa pun.

Berikutnya, mendorong perusahaan media untuk membuat mekanisme pelaporan bagi perempuan jurnalis yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Kemudian meminta perusahaan media secara serius menangani dan mendampingi korban baik secara psikologis maupun hukum hingga korban pulih.

"Kami meminta agar pihak-pihak berwajib menghukum atau memberi sanksi seberat-beratnya kepada siapa pun pelaku pelecehan seksual supaya ada efek jera," kata dia. 

Ia melanjutkan, perusahaan juga perlu memberikan hak cuti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui kepada perempuan jurnalis. 

"Begitupun soal upah maupun hak tunjangan yang layak bagi seluruh jurnalis, tak terkecuali perempuan jurnalis," bebernya. 

Jaringan perempuan di Semarang juga melakukan serangkaian peringatan International Women's Day (IWD). Puncaknya, mereka melakukan panggung perempuan, konsolidasi akbar, pameran dan kegiatan lainnya yang dipusatkan di Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Sabtu (9/3/2024).  

Koordinator IWD Semarang, Tuti Wijaya mengatakan, peringatan IWD diikuti oleh perempuan jaringan dari kelompok NGO, jurnalis, buruh, mahasiswa, kelompok minoritas, dan lainnya. 

"Semua kelompok bisa menjadi korban (kekerasan seksual) maka kami berkumpul berbagi pengetahuan dan pengalaman sebagai senjata perlawanan," ungkapnya yang juga sebagai asisten pengacara publik di LBH Semarang ini. 

Ia menyebut, data LBH Semarang mencatat terdapat 36 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di sepanjang tahun 2023. 

Dari puluhan kasus, hanya 6 kasus yang berlanjut ke ranah hukum. Sisanya, sebanyak 30 kasus hanya berupa aduan atau konsultasi karena korban takut melapor ke polisi.

"Penyidik di Kepolisian dan hakim di Pengadilan masih menjadi momok bagi korban untuk mendapatkan keadilan," terangnya. 

Terpisah, Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC- KJHAM) Jawa Tengah Citra Ayu mengatakan, telah menangani 33 kasus kekerasan seksual selama kurun waktu Desember 2022 sampai dengan November 2023 atau selepas disahkannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Dari puluhan kasus itu, hanya dua kasus telah menggunakan UU TPKS, satu Undang-undang Perlindungan Anak junto restitusi Pasal 64 UU TPKS dan
satu kasus korban dewasa saat ini masih dalam proses penyelidikan di kepolisian.

"Walaupun undang-undang TPKS telah disahkan kurang lebih 1,5 tahun. Namun belum mampu
membawa perubahan terhadap pemenuhan hak-hak korban atas penanganan, pelindungan dan
pemulihan," ujar Citra dalam Peringatan International Women's Day (IWD) dengan launching Lembar Fakta Situasi Kekerasan Seksual di Jateng.

Menurutnya, kondisi tersebut masih menjadi tantangan bagi semua pihak. 

Terutama untuk kasus kekerasan

seksual korban dewasa. Sebab, masih ada penyidik menyatakan unsur Pasal dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak jauh berbeda dengan KUHP. 

Masih ada penyidik yang belum mengetahui UU TPKS, penyidik bahkan mengatakan belum ada aturan turunan dan ragu untuk menerapkan UU TPKS. 

"Belum lagi ada stigma suka sama suka sehingga penyidik
masih melakukan upaya mediasi terhadap kasus kekerasan seksual," jelasnya saat dihubungi, Senin (11/3/2024). 

Dari kondisi tersebut , pihaknya menuntut pemerintah melalui lembaganya untuk segera menerbitkan tujuh peraturan pelaksana Undang-undang TPKS, khususnya Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kemudian Peraturan Presiden tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak. 

"Untuk Kapolri segera mengeluarkan surat edaran untuk memastikan seluruh Unit PPA menggunakan undang-undang TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual dan memastikan hakrestitusi korban kekerasan seksual terpenuhi dari mulai proses penyidikan," tuturnya. (iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved