Berita Jakarta
Soal Biaya UKT Naik, Kemendikbud: Tidak Boleh Ada Komersialisasi di Kampus
Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie menegaskan tidak boleh ada komersialis
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie menegaskan tidak boleh ada komersialisasi Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN).
Hal ini dikatakan Prof. Tjitjik untuk merespons marak dibicarakannya kenaikan UKT di beberapa PTN.
"Walaupun pemerintah punya dana (untuk PTN) terbatas, pemerintah tegas mengatakan tidak boleh ada komersialisasi di perguruan tinggi," kata Prof. Tjitjik di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, Rabu (15/4).
Menurut Prof Tjitjik, aturan mengenai tidak boleh melakukan komersialisasi di perguruan tinggi utamanya PTN jelas tertuang dalam Undang-Undang.
Sehingga memang sudah seharusnya PTN bersifat inklusif harus dan dapat diakses oleh masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi, kurang mampu, ataupun mampu.
"Ini sudah kebijakan dan amanat," ujarnya.
Oleh karena itu, untuk mengakomodir semua kalangan masyarakat, kata Prof. Tjitjik, pemerintah mewajibkan PTN membuat kelompok biaya UKT.
PTN wajib menerapkan biaya UKT paling kecil sebesar Rp 500.000 untuk kelompok satu dan Rp 1 juta untuk kelompok dua.
"Dari kelompok UKT dua ke ketiga biasanya tidak naik signifikan," tuturnya.
Sementara terkait kenaikan biaya UKT, menurut Prof. Tjitjik itu adalah adalah hal yang lumrah terjadi.
Menurut Prof. Tjitjik, ada beberapa faktor yang menyebabkan naiknya UKT di PTN. Pertama, kata dia, adalah peningkatan mutu pendidikan.
"Ini kebutuhan biaya untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam upaya menjaga mutu untuk memenuhi standar mutu minimal," kata Prof. Tjitjik.
Prof. Tjitjik menjelaskan, pada tahun 2020 kebutuhan untuk belajar di perguruan tinggi hanya sebatas di kampus dan melakukan praktikum di laboratorium.
Namun kini, proses belajar di perguruan tinggi harus lebih kolaboratif dengan memanggil dosen praktisi, melakukan magang dalam waktu satu semester dan dapat diperpanjang, biaya ujian, hingga menyelesaikan proyek dalam suatu tugas.
Oleh karena itu diperlukan bantuan dari masyarakat agar pelaksanaan belajar PTN bisa tetap berkualitas dengan melakukan gotong royong membayar biaya kuliah.
"Kalau kita ingin menjaga kualitas pendidikan tinggi ya pemerintah tidak bisa sendiri perlu gotong royong dengan masyarakat," pungkas Prof. Tjitjik. (sania/kps)
Baca juga: Ngabalin Minta PDI P Move On, Tuding Ada Indikasi Jokowi Cawe-cawe Pilkada lewat Bansos Beras
Baca juga: Sosok Dian Andriani, Perempuan Pertama Berpangkat Bintang Dua Mayjen TNI AD
Baca juga: Buah Bibir : Enzy Storia Tasnya Tertahan di Bea Cukai
Baca juga: Jokowi Ingin Penguatan Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia
Seusai Bupati Pati Sudewo Diperiksa KPK Terkait Suap Proyek Rel Kereta, Ini Fakta Terbarunya |
![]() |
---|
IHSG Hari Ini Naik ke 7.936,17, Saham PGEO dan MBMA Jadi Pendorong Utama |
![]() |
---|
Alasan PDIP Copot Bambang Pacul dari Ketua DPD Jawa Tengah, Ini Penjelasannya |
![]() |
---|
IHSG Hari Ini Ditutup Melemah, Apa Penyebabnya? |
![]() |
---|
Bahaya Asbes di Indonesia: Sengketa Hukum, Korban, dan Desakan Pelarangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.