Berita Nasional
Nilai Tukar Rupiah Makin Terpuruk, Pasar Masih Pantau Kebijakan Fiskal Pemerintahan Prabowo
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (21/6) merosot ke level Rp16.471 per dolar AS atau turun 41 poin atau 0,25 pe
Data AS yang lemah baru-baru ini memperkuat spekulasi penurunan suku bunga Federal Reserve sebanyak dua kali pada akhir tahun ini.
Sementara itu, para pejabat The Fed membiarkan kebijakannya tidak berubah pada pertemuan mereka di bulan Juni, dan memangkas proyeksi sebelumnya untuk pemotongan tiga perempat poin tahun ini menjadi satu, bahkan ketika inflasi telah mereda dan pasar tenaga kerja telah melemah.
Kemudian, pedagang tetap mewaspadai tanda-tanda intervensi berkelanjutan oleh Bank of Japan untuk meningkatkan mata uang yang mencapai posisi terendah dalam 34 tahun pada akhir April.
Diplomat mata uang utama Jepang Masato Kanda mengatakan sebelumnya pada hari Kamis bahwa tidak ada batasan terhadap sumber daya yang tersedia untuk intervensi valuta asing, Kantor Berita Jiji melaporkan.
Sementara Bank Sentral Inggris (BoE) mempertahankan suku bunganya, dan beberapa pembuat kebijakan mengatakan keputusan mereka untuk tidak melakukan pemotongan adalah “seimbang”.
Swiss National Bank memangkas suku bunga untuk kedua kalinya sementara Bank of England membuka kemungkinan pelonggaran pada bulan Agustus setelah mempertahankan suku bunga tetap stabil.
Internal
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.
“Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri. Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing,” ujar Shinta saat dihubungi Tribun.
Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas akan berdampak market share akan berkurang signifikan.
Selain itu juga berpotensi hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar bila harga barang yang diproduksi meningkat) akan memiliki resiko PHK akibat pengurangan kapasitas produksi hingga penutupan usaha.
“Jadi pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara massive pada saat yang bersamaan dalam waktu dekat, kemungkinan PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan oleh depresiasi rupiah,” ucap Shinta.
Industri yang akan paling rentan mengalami PHK tentu adalah industri-industri yang memang sudah berusaha untuk bertahan di pasar, khususnya industri-industri padat karya berorientasi ekspor.
“Di satu sisi, mereka tidak memiliki demand pasar yang kuat karena pelemahan pertumbuhan ekonomi global,” terang Shinta.
Padahal beban biaya operasional atau opex terus meningkat seiring dengan kenaikan upah, suku bunga dan beban-beban opex lainnya.
Tim Tangguh! Kanwil Kemenham Jateng Raih Juara 2 di Turnamen Mobile Legends HUT Ke-80 RI |
![]() |
---|
Setelah Viral Video Bidan Berenang Seberangi Sungai demi Obati Pasien, Prabowo Kucurkan Rp26,5 M |
![]() |
---|
Posisi Politik Bupati Pati Sudewo Kian Terpojok? Diduga Terima Aliran Dana Suap DJKA Kemenhub |
![]() |
---|
Lapor dapat Ancaman Pembunuhan Tidak Digubris Polisi, Wanita Purwakarta Ditemukan Tewas di Rumah |
![]() |
---|
Buka Restoran di Apartemen secara Ilegal, 2 TKI Ditangkap Polisi di Makau China |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.