Berita Jakarta
RUU TNI Polri Banyak Kritikan : Akademisi Kritisi Kewenangan Polri Berlebihan Saat Dengar Pendapat
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto mengaku diberi pesan Presiden Joko Widodo untuk mengawal Rancangan Undang-Undang TNI dan Polri
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Menko Polhukam Hadi Tjahjanto mengaku diberi pesan Presiden Joko Widodo untuk mengawal Rancangan Undang-Undang TNI dan Polri.
Hadi mendapatkan instruksi Jokowi agar pembahasan RUU TNI dan Polri dilakukan dengan hati-hati.
"Sesuai dengan arahan Bapak Presiden yang menginstruksikan agar pembahasan RUU dilakukan dengan hati-hati, tidak bertentangan dengan konstitusi dan putusan MK,” kata Hadi dalam paparan pada acara “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri” di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2024).
Jokowi juga mengatakan kepada Hadi bahwa RUU TNI dan Polri harus memiliki argumen yang kuat sehingga bisa diterima publik dan masyarakat.
“Selayaknya sebilah pedang, penyusunan RUU TNI dan RUU Polri juga harus melalui tempaan dan pengasahan yang matang agar dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjawab tantangan dalam bidang pertahanan negara, keamanan, ketertiban masyarakat, serta penegakan hukum,” tutur Hadi.
Jokowi lewat Menteri Sekretaris Negara Pratikno menunjuk Hadi selaku Menko Polhukam untuk mengoordinasikan penyusunan RUU TNI dan RUU Polri. Hadi menekankan bahwa pemerintah tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan formil pembentukan UU.
“Namun, yang paling penting adalah mendorong dan memastikan substansi materi muatan RUU TNI dan RUU Polri mampu menjawab kebutuhan masyarakat dengan mengoptimalkan tugas dan fungsi TNI dan Polri,” tutur Hadi.
Oleh karena itu, pada Kamis (11/7), Kemenko Polhukam mengadakan dengar pendapat publik dengan mengundang berbagai perwakilan masyarakat yang terdiri dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta lembaga terkait.
Pemerintah, kata Hadi, berharap mendapatkan berbagai perspektif terkait substansi RUU TNI dan RUU Polri, baik pendapat yang pro maupun kontra.
“Pelibatan masyarakat ini dilakukan oleh pemerintah sejak dini yaitu sebelum dimulainya penyusunan daftar inventaris masalah (DIM) sebagai pondasi awal dalam pembahasan yang akan dilakukan pada jajaran internal pemerintah,” ujar Hadi.
Hadi Tjahjanto pastikan RUU TNI-Polri yang sedang disusun tak akan sama dengan dwifungsi ABRI. "Yang paling penting adalah, (ini) berbeda dwifungsi ABRI pada waktu itu. Pada waktu itu, dwifungsi ABRI atau TNI memiliki fungsi 2. Yaitu sebagai kekuatan Pertahanan Keamanan, dan sebagai kekuatan sosial politik dan memiliki wakil di DPR," kata Hadi.
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan parlemen masih menunggu dokumen daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah untuk bisa membahas RUU tentang TNI dan RUU tentang Polri.
DPR sudah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait dua RUU tersebut, tetapi belum disertai dengan dokumen daftar inventarisasi masalah.
Catatan Kritis Akademisi
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo memberikan setidaknya 13 poin catatan kritis terhadap draf RUU atas Perubahan UU Polri.
Prof Tuti, sapaan akrabnya, memulai paparannya dalam kegiatan Dengar Pendapat Publik bertajuk RUU Perubahan UU TNI dan UU Polri di Hotel Borobudur Jakarta pada Kamis (11/7/2024) dengan menegaskan bahwa catatan yang disampaikannya terbatas pada ketentuan yang tidak diatur dalam UU yang masih berlaku saat ini yakni UU nomor 2 tahun 2002 tentang Polri.
Pertama, adalah terkait dengan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ruang siber dalam pasal 14 draf RUU Polri. Menurutnya, definisi ruang siber sangatlah luas sehingga perlu dibatasi.
"Karena kita melihat rumusannya sangat luas, buat saya perlu dibatasi jangan sampai menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan publik. Jadi perlu dicatat dengan teliti sejauh mana irisan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika," kata Tuti.
Kedua, terkait dengan ketentuan kewenangan Polisi dalam menyelanggarakan smart city. Menurutnya, hal tersebut bukanlah bagian dari fungsi kepolisian.
Ketiga, terkait dengan ketentuan yang memberikan kewenangan kepolisian untuk bantuan dan perlindungan serta kegiatan lainnya demi kepentingan nasional. Menurutnya, makna dari kepentingan nasional itu luas sekali ya sehingga harus dibatasi mana saja yang bisa masuk tugas kepolisian.
"Karena, nanti bersinggungan nggak dengan TNI, Kejaksaan, dengan teman-teman yang lain. Ini dalam perumusan suatu pasal, suatu UU, perlu dipastikan bahwa implementasinya itu visible, dapat dilaksanakan, dan tidak multiinterpretasi, dan tidak dapat diinterpretasikan secara luas ke mana-mana," kata dia.
Keempat, terkait dengan kewenangan penyadapan. Dalam draf RUU Polri, kata dia, disebutkan polisi berwenang melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai dengan UU yang mengatur penyadapan. Namun, kata dia, negara belum memiliki UU penyadapan.
Kelima, terkait dengan kewenangan dalam menjalankan diversi pada proses peradilan pidana anak. Menurutnya, hal tersebut bermasalah karena ketentuan itu sebenarnya sudah diatur dalam ketentuan UU SPPA nomor 11 tahun 2012.
Keenam, terkait dengan teritorial polisi dalam menjalankan fungsi dan perannya pada ketentuan pasal 6 draf RUU Polisi.
Menurutnya, ketentuan tersebut sudah dirumuskan dalam KUHP Baru.
Ketujuh, ketentuan yang memberi kewenangan kepada Polri dalam memberi rekomendasi pengangkatan PPNS atau penyidik lain sebelum diangkat oleh menteri yang bersangkutan. Menurutnya, ketentuan tersebut akan menimbulkan resistensi dari kementerian atau lembaga lain.
Kedelapan, terkait dengan kewenangan Polisi dalam menerima hasil penyidikan dan atau penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar.
Menurutnya, tidak masalah bila kewenangan polisi hanya untuk memberi surat pengantar. Tapi hal itu akan membuat birokrasi berbelit-belit.
Sembilan, terkait dengan kewenangan polisi untuk melakukan penindakan pemblokiran, pemutusan, perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Sepuluh, terkait kewenangan polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif (RJ). Menurutnya, belum ada kesamaan pandang tentang apa itu restoratif justice baik di kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan.
Ke-11, ia mengkritisi pasal tentang kegiatan intelkam Polri. Menurutnya, betul bahwa kegiatan intelijen keamanan Polri mengacu pada UU Intelijen Negara. Akan tetapi ketika masuk kewenangannya, kata dia, harus berhati-hati.
Ke-12, lanjut dia, ketentuan yang mengatur terkait kewenangan Polri untuk meminta keterangan. Ia mengatakan rumusan ketentuan tersebut mengesankan seakan pemberian kewenangan melakukan upaya paksa dalam proses penyidikan.
Ke-13, ia juga mengkritisi terkait ketentuan yang memberi kewenangan kepada polisi untuk melakukan pemeriksaan aliran dana. Menurutnya, hal tersebut berbahaya. (tribun/kompas)
Baca juga: Anggota Ormas Halangi Pintu Masuk SMP dengan Mobil Fortuner gara-gara Anak Tak Lolos PPDB
Baca juga: 300.000 Warga Gaza Dievakuasi Paksa, Banyak yang Ditembak Mati Tentara Israel
Baca juga: Mantan Ketua Ormas Bayar 2 Eksekutor Rp130.000 untuk Bakar Rumah Wartawan
Baca juga: Tahanan Kabur Setelah Divonis 5 Tahun, 85 Aparat Gabungan Lakukan Pencarian
Seusai Bupati Pati Sudewo Diperiksa KPK Terkait Suap Proyek Rel Kereta, Ini Fakta Terbarunya |
![]() |
---|
IHSG Hari Ini Naik ke 7.936,17, Saham PGEO dan MBMA Jadi Pendorong Utama |
![]() |
---|
Alasan PDIP Copot Bambang Pacul dari Ketua DPD Jawa Tengah, Ini Penjelasannya |
![]() |
---|
IHSG Hari Ini Ditutup Melemah, Apa Penyebabnya? |
![]() |
---|
Bahaya Asbes di Indonesia: Sengketa Hukum, Korban, dan Desakan Pelarangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.