Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Viral

Kisah Firdaus Bocah SD Tak Malu Sekolah Hari Pertama Pakai Sandal Jepit, Ayah Ibu Tak Sanggup Beli

sah bocah SD yang semangat di hari pertama sekolah meski hanya mengenakan sandal jepit viral di media sosial.

Editor: rival al manaf
Istimewa
Kisah bocah SD yang semangat di hari pertama sekolah meski hanya mengenakan sandal jepit viral di media sosial. 

TRIBUNJATENG.COM - Kisah bocah SD yang semangat di hari pertama sekolah meski hanya mengenakan sandal jepit viral di media sosial.

Sosok bocah itu diketahui bernama Muhammad Firdaus (7).

Ia tampak tak malu meski teman-temannya mengenakan sepatu sekolah dan ia hanya sandal jepit.

Firdaus tetap menebar senyum di sekolahnya.

Ia adalah siswa baru SD Inpres Desa Kuo, Kecamatan Pangale, Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng), Sulawesi Barat (Sulbar).

Baca juga: Siswa-siswi di MTs Pakis Cilongok Banyumas Daftar Sekolah Gunakan Hasil Bumi

Baca juga: OPM Bakar Gedung Sekolah SMP Negeri Okbab di Papua Pegunungan

Siswa baru bernama Muhammad Firdaus (7) tersebut mengaku butuh sepatu sekolah.

Tetapi orang tuanya belum sanggup membelikan sepatu baru untuk anaknya yang baru pertama kali masuk sekolah.

Selain tak sanggup membeli sepatu, pakaian seragam sekolah Firdaus juga masih dicicil oleh orang tuanya.

Kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai buruh harian dan jual sayuran yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-sehari.

Keterbatasan ekonomi ini membuat Firdaus bersekolah dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

"Hari pertama masuk sekolah Firdaus tidak pakai sepatu karena belum ada uang untuk beli," ungkap Rudi kakak dari Firdaus.

"Itu pun seragam sekolah dan pramuka masih dicicil," imbuhnya kepada Tribun-Sulbar.com, Senin (15/7/2024).

Rudi mengaku, ibunya hanya keliling jualan sayur setiap hari dengan menggunakan sepeda.

Sedangkan bapaknya hanya bekerja buruh harian dan juga garap sawah orang lain.

Selama ini kata dia, keluarganya jarang sekali mendapat bantuan.

Baik dari pemerintah Kabupaten atau Provinsi untuk membantu kebutuhan sekolah maupun bantuan sosial lainnya.

"Itu pun kalau ada ya ditunggu informasi dari desa biasa, tapi sudah lama sekali kami tidak dapat bantuan," ungkap Rudi.

Lanjut dia, untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari, Rudi hanya menunggu panggilan dari orang lain agar dia bekerja seagai buruh harian bersama ayahanya.

Dia juga sedang berusaha agar adiknya Firdaus bisa membeli sepatu agar tetap semangat belajar.

"Semoga ada rezeki supaya bisa saya belikan sepatu untuk adik saya, agar dia semakin semangat belajarnya," bebernya.

Rudi menambahkan, dari empat bersaudara, hanya Firdaus yang sekolah, sementara saudara lainya sudah berhenti sekolah karena faktor ekonomi yang menghimpit mereka.

Firdaus satu-satunya harapan untuk merubah nasib keluarganya di kemudian hari lewat pendidikan.

"Saya berharap ada bantuan beasiswa untuk adik saya," pungkas Rudi.

Diketahui, masa siswa masuk kembali sekolah telah dimulai mulai di perkotaan hingga pedalaman.

Tak terkecuali sekolah yang berada di pinggir hutan dengan ketinggian 600 mdpl ini.

Namun berbeda dengan sekolah pada umumnya, orang tua yang mendaftarkan anaknya di sekolah ini tak dipungut biaya sepeser pun.

Biaya pendaftarannya cukup menggunakan hasil bumi yang ditanam para orang tua.

Adapun sekolah tersebut terletak di Sekolah Pakis di Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Belasan orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut pada Senin (15/7/2024) pagi.

Para orang tua ada yang membawa beras, singkong, talas, kelapa, sayuran dan lain-lain.

Baerbagai hasil bumi ini sebagai tanda menyerahkan anak-anaknya untuk menempuh pendidikan di sekolah tersebut.

Sekolah Pakis menyediakan program Paket C atau setara SMA dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).

Salah satu wali murid, Fitri (30), memilih menyekolahkan anaknya, Arlin (13), ke MTs Pakis karena gratis.

Selain itu jaraknya juga dekat dari rumah sehingga cukup berjalan kaki.

"Kalau harus menyekolahkan ke sekolah lain tidak ada biayanya," tutur warga Dusun Karanggondang, Desa Sambirata ini, Senin, dikutip dari Kompas.com.

"Untuk transportasi dan lainnya paling tidak butuh Rp500.000 per bulan," imbuhnya.

Akses menuju atau ke luar dusun yang berjarak sekitar 20 kilometer arah barat daya dari ibu kota kabupaten, Purwokerto ini, memang sulit karena tidak ada transportasi umum.

Selain soal biaya, alasan lain Fitri memili Pakis karena di sekolah tersebut anaknya diajarkan mengenai pertanian, peternakan, dan lainnya.

"Selain belajar juga ada prakteknya," ujar Fitri.

Hal senada disampaikan wali murid lainnya, Wasem (45).

Ia mendaftarkan anaknya ke jenjang pendidikan Paket C dengan membawa talas dari hasil bercocok tanam di dekat rumahnya.

"Saya memilih menyekolahkan di sini karena gratis. Lebih dekat dari rumah, jadi bisa jalan kaki," ucap Wasem.

Koordinator Sekolah Pakis, Isrodin mengatakan, pendaftaran menggunakan hasil bumi ini memiliki pesan bahwa untuk menempuh pendidikan memang butuh perjuangan.

Meski rata-rata berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah, para orang tua diharapkan dapat terus berupaya untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya.

"Pendidikan tidak ada (yang betul-betul) gratis. Orang tua jangan pasrah, ini bagian dari bahwa pendidikan butuh perjuangan, menanam pisang, singkong dan lainnya juga butuh proses," kata Isrodin.

Isrodin menuturkan, untuk kurikulum menginduk ke MTs Maaarif NU 2 Cilongok.

Namun siswa Pakis diajari juga keterampilan sebagai bekal hidup.

"Kurikulum kami sama dengan sekolah lain. Kami belajar menanam aren, konservasi dan lainnya."

"Kami menjadi sekolah ramah lingkungan dan satwa liar, karena anak-anak hidup di pinggir hutan persis," kata Isrodin.

Kini mereka juga memiliki kegiatan produktif untuk menopang biaya operasional sekolah.

Beberapa produk yang dihasilkan para siswa antara lain kopi dan gula aren.

"Anak-anak di sini belajar kehutanan, peternakan, pertanian, dan juga bagaimana ketrampilan hidup. Kami sudah memproduksi kopi dan gula aren, rencana akan akan memperluas lahan garapan," ujar Isrodin.

Lahan garapan tersebut kebanyakan merupakan milik para wali murid dan warga sekitar sekolah. (*)

 

Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Hari Pertama Masuk Sekolah, Siswa SD Miris Pakai Sandal Jepit Lusuh, Ortu Masih Nyicil Seragam, 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved