Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Kota Semarang Jadi Daerah Tertinggi Angka Kasus Kekerasan Seksual di Jateng

Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC- KJHAM) mencatat sepanjang tahun 2023 terdapat

Penulis: iwan Arifianto | Editor: muh radlis
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi kekerasan seksual 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC- KJHAM) mencatat sepanjang tahun 2023 terdapat 93 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 117  perempuan menjadi korban kekerasan.

Kabupaten atau Kota dengan kasus tertinggi adalah Kota Semarang dengan 59 kasus. Sisanya tersebar di daerah lain seperti Kabupaten Demak dan Purwokerto dengan 4 kasus, Kabupaten Banyumas dan Pati dengan 3 kasus dan lainnya.

“Kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi pada perempuan dewasa, yaitu 61 persen dan 31 persenya adalah anak perempuan,” beber  Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM, Citra Ayu Kurniawati saat dihubungi, Kamis (25/7/2024).

Dari 93 kasus pada tahun 2023, hampir 60 persen bentuk kekerasan seksual yang dialami seperti diambil foto dan video tanpa busana tanpa izin, dipaksa memegang penis, dipaksa hubungan seksual, diraba tubuh dan vagina, diremas payudara, dipaksa membuka resleting celana, dan lainnya.

Bahkan, korban bisa mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan. Korban kekerasan seksual misalnya, bisa mengalami tiga bentuk kekerasan seperti fisik,psikis, dan seksual. “Yang mana kekerasan ini menyertai di semua bentuk kekerasan yang lainnya,” sambung Citra.

Menurut Citra, pelaku kekerasan terhadap perempuan banyak dilakukan pelaku dewasa dengan porsi sebanyak 95,6 persen sedangkan pelaku dari usia anak sebanyak 2,7 persen.

Sedangkan ranah kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi paling banyak di ranah privat sebanyak 62,3 persen dan di ranah publik sebanyak 37,7 persen.

Relasi korban dengan pelaku di antaranya suami, mantan pacar, pacar, kenalan/teman, rekan kerja, orang tidak dikenal, tetangga, ayah kandung, pemberi kerja, ayah tiri, paman, guru, mantan suami, bahkan kyai. 

Kebanyakan pelaku adalah orang terdekat korban dan dikenal oleh korban. Orang-orang yang seharusnya melindungi, justru menjadi pelaku kekerasan, yang sangat disayangkan adalah peristiwa tersebut juga terjadi di dalam lingkungan keluarga. “Artinya perempuan belum memiliki ruang aman untuk dirinya bebas dari kekerasan termasuk di dalam keluarga,” tuturnya.

Mirisnya, sejak disahkannya undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hanya ada 1 kasus kekerasan seksual korban dewasa yang sampai saat ini masih proses di kepolisian. Sedangkan korban anak ada 1 kasus hak atas restitusi diproses menggunakan undang-undang TPKS.

Dijelaskan Citra, perempuan korban kekerasan seksual masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan. Lemahnya perspektif aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual, masih adanya stigma “suka sama suka” untuk korban dewasa dan anak, kasus kekerasan seksual prosesnya lama atau bahkan mandeg dan masih ada upaya-upaya melakukan mediasi kasus kekerasan seksual.

“Sejak diratifikasinya The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) terhitung 40 tahun tetapi perempuan masih mengalami kekerasan, artinya perempuan belum terbebas dari diskriminasi,” ungkapnya. 

Pihaknya juga mencatat selama 2020-2023 ada sebanyak 452 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korbannya 507 perempuan.

“Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, tidak selalu dimaknai negatif. Hal ini juga bisa menunjukkan keberanian korban untuk melaporkan kasusnya,” tandasnya. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved