Breaking News
Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Cerita Dongeng Bahasa Indonesia Sebelum Tidur untuk Anak Fabel Induk Berang-berang Menuntut Keadilan

Cerita Dongeng Bahasa Indonesia Sebelum Tidur untuk Anak Fabel Induk Berang-berang Menuntut Keadilan

Penulis: non | Editor: galih permadi
Freepik
Cerita Dongeng Bahasa Indonesia Sebelum Tidur untuk Anak Fabel Induk Berang-berang Menuntut Keadilan 

TRIBUNJATENG.COM - Cerita Dongeng Bahasa Indonesia Sebelum Tidur untuk Anak Fabel Induk Berang-berang Menuntut Keadilan

Pada zaman dahulu, semua binatang bisa berbicara.

Ketika itu hiduplah seekor Berang-berang di tepi sungai. Ia punya sarang di bawah batang pohon besar yang sudah tumbang.

Suatu waktu lewatlah seekor Kijang di sekitar sana. Ia mencari makanan di dekat rumah Berang-berang.

Sementara di tempat lain, Burung Pelatuk sedang berjaga-jaga di atas sebatang pohon besar.

Ia memantau keadaan hutan dengan saksama. Ketika memandang ke arah sungai, ia terperanjat.

Ia melihat di sana Ikan Baung banyak hilir mudik membawa senjata.

Karena takut terjadi kerusuhan, Burung Pelatuk pun menabuh genderang perang.

Mendengar genderang perang ditabuh, Kijang terkejut dan menginjak Anak Berang-berang secara tak sengaja.

Anak Berang-berang pun mati. Karena tak terima dengan perlakuan Kijang, Induk Berang-berang pun menuntut keadilan.

Berang pun menuntut keadilan. "Bukan aku yang salah," kata Kijang, "Itu gara-gara Burung Pelatuk menabuh genderang perang."

Karena tetap tak bisa menerima alasan Kijang, Induk Berang-Berang akhirnya pergi menghadap Raja Hutan.

Ia pun menjelaskan segala duduk perkara yang telah terjadi di rumahnya.

"Wahai Tuanku," adu Induk Berang-Berang, "Saya datang ke sini untuk melaporkan perbuatan Si Kijang terhadap anak saya. Ia telah menginjak anak saya hingga mati. Saya tidak rela, Tuanku. Saya ingin keadilan ditegakkan."

Karena Singa adalah raja yang bijak, ia pun memanggil Kijang dan bertanya, "Hai Kijang, kenapa kamu injak-injak anak si Berang-Berang ini? Sampai-sampai anak itu mati karena kamu."

"Maaf, Tuanku," jawab Kijang, "Bukan maksud saya hendak menginjak Anak si Berang-Berang hingga mati. Itu karena saya terperanjat oleh genderang perang yang ditabuh Burung Pelatuk.

Padahal situasi di hutan tampak aman-aman saja. Jadi bukan saya yang salah, Tuanku. Burung Pelatuk itu yang salah."

Karena Raja ingin tahu pangkal balanya, Burung Pelatuk pun dipanggil menghadap Raja.

"Hai Burung Pelatuk, dalam keadaan aman tentram begini, kenapa kamu membunyikan genderang perang? Lihatlah, Kijang pun jadi ketakutan karenamu, dan ia pun jadi menginjak anak Berang-Berang hingga mati."

"Wahai Tuanku," kata Burung Pelatuk, "Saya membunyikan genderang perang karena saya lihat Ikan Baung ramai-ramai membawa tombak hilir mudik.

Tombaknya pun ada tiga sekali bawa. Bagaimana saya tidak takut, Tuanku. Saya kira mereka akan berperang di bawah sana."

"Oooh, begitu?" "Benar, Tuanku. Jadi, bukan saya yang salah. Ikan Baung itulah yang salah." Ikan Baung pun dipanggil menghadap Raja, lalu ditanya,

"Hai Ikan Baung, kenapa kamu hilir mudik di sungai membawa senjata? Gara-gara kamu membawa senjata, Burung Pelatuk jadi membunyikan genderang perang."

"Maaf, Tuanku," jawab Ikan Baung. "Saya membawa senjata karena saya curiga melihat kepiting. Kepiting itu berjalan miring sambil mengendap-ngendap.

Lagaknya seperti mata-mata musuh, Tuanku. Karena itulah kami berjaga-jaga. Jadi, bukan kami yang salah, Tuanku. Kepiting itulah yang salah."

Maka, Kepiting pun ikut dipanggil menghadap Raja. "Hai Kepiting, kenapa kamu berjalan miring sambil mengendap-endap?

Apa yang ingin kamu tengok? Apakah kamu telah menjadi mata-mata bagi musuh?"

"Wahai Tuanku Raja," jelas Kepiting. "Saya berjalan miring begini karena saya penasaran dengan Siput.

Saya lihat ia ke mana-mana selalu membawa rumahnya. Walaupun berat, ia tetap membawa rumahnya. Jadi, bukan saya yang salah, Tuanku. Siput itulah yang salah."

Siput pun dipanggil pula menghadap Raja. "Hai Siput, kenapa kamu ke mana-mana selalu membawa rumah? Bukankah rumahmu itu berat?"

"Maaf, Tuanku," kata Siput, "Saya selalu membawa rumah saya karena saya takut dengan Kunang-Kunang. Ia selalu membawa api ke mana-mana.

Jadi, daripada rumah saya kebakaran ketika saya tinggal, lebih baik saya bawa terus ke mana saya pergi. Begitulah, Tuanku. Saya tidak salah. Kunang-kunang itulah yang salah."

Maka, kunang-kunang pun dipanggil menghadap Raja. "Hei Kunang-Kunang," kata Raja Hutan.

"Kenapa kalian selalu membawa api ke mana-mana? Lihatlah, Siput jadi takut rumahnya kebakaran. Dan kini masalahnya jadi berbuntut panjang."

"Wahai Tuanku," jawab Kunang-Kunang. "Kami ke mana-mana membawa api karena kami takut pada Laba-Laba. Laba-laba itu suka sekali membuat jaring di sembarang tempat.

Mata kami rabun. Jadi, kami sengaja membawa api supaya terang jalan kami, Tuanku. Jadi, bukan karena salah kami masalah ini. Laba-laba itulah yang salah."

Laba-laba pun dipanggil menghadap Raja. "Hai Laba-Laba, kenapa kalian membuat jaring di mana-mana? Lihatlah, Kunang-Kunang selalu membawa api karena takut terkena jaring kalian."

"Maaf, Tuanku," kata Laba-Laba, "Kami dari dulu diajarkan oleh orang tua kami untuk mencari makan menggunakan jaring itu. Tubuh kami lembek.

Kami mengharapkan makanan dari binatang-binatang kecil yang terperangkap jaring kami. Kalau jaring itu tidak kami buat, kami tidak makan, Tuanku. Kami tidak bisa hidup tanpa jaring-jaring itu."

Mendengar penjelasan tersebut, Raja Hutan pun jadi maklum. Ia tidak bisa menyalahkan Laba-laba.

Maka, kasus itu pun ditutup. Keadilan yang dituntut oleh Induk Berang-Berang tidak berhasil ia dapatkan.

Raja Hutan meminta kerelaan hati Induk Berang-Berang untuk mengikhlaskan kematian anaknya.

Raja juga meminta binatang-binatang di hutan untuk tidak lagi saling menyalahkan, sehingga mereka bisa tetap hidup dengan damai setelahnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved