Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Artikel Ilmiah Populer

OPINI Tri Pujiani : Pentingnya Literasi di Era Digital: Antara Mitos, Ideologi, dan Perdebatan

Di era digital yang dipenuhi informasi melimpah, literasi sering kali dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan kualitas hidup dan memajukan masyaraka

istimewa
Tri Pujiani 

Dalam konteks ini, pengajaran dan penerapan literasi sering kali digunakan untuk mempertahankan atau menantang status quo. Sebagai contoh, sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, cenderung mempromosikan literasi yang sesuai dengan ideologi dominan, seperti nasionalisme atau modernisasi. Sementara itu, perspektif alternatif—misalnya literasi yang berfokus pada keadilan sosial atau pemberdayaan masyarakat marginal—sering kali diabaikan.

Hal ini terlihat dalam kurikulum pendidikan yang menekankan pada teks-teks tertentu yang dianggap "resmi" atau "bernilai tinggi," tetapi mengabaikan cerita atau pengalaman masyarakat adat, komunitas minoritas, atau perempuan.

Literasi, dalam hal ini, menjadi alat untuk menyampaikan narasi tunggal yang menguntungkan kelompok tertentu.

Untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar melek literasi, kita perlu memperluas pendekatan ini dengan memasukkan perspektif yang lebih beragam dan mendorong pemikiran kritis terhadap teks dan konteks sosialnya.

Di tengah harapan dan ideologi yang melingkupi literasi, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan membaca?

Reading wars, yang memperdebatkan antara pendekatan phonic reading dan whole language instruction, mencerminkan ketegangan ini. Pendukung phonic reading berargumen bahwa pembelajaran membaca harus dimulai dari dasar, yaitu memahami hubungan antara huruf dan bunyi.

Pendekatan ini efektif untuk membantu anak-anak mempelajari keterampilan dasar membaca, terutama bagi mereka yang memiliki kesulitan belajar. Namun, pendekatan ini sering dikritik karena terlalu mekanis dan kurang memberikan konteks atau makna.

Sebaliknya, pendukung whole language instruction berfokus pada pengajaran membaca melalui teks yang bermakna dan menarik. Pendekatan ini menekankan bahwa membaca adalah pengalaman holistik yang melibatkan pemahaman konteks dan makna, bukan sekadar decoding huruf.

Namun, kritik terhadap pendekatan ini adalah kurangnya penekanan pada keterampilan dasar membaca, yang dapat membuat anak-anak kesulitan memahami struktur dasar bahasa.

Dalam praktiknya, penelitian menunjukkan bahwa pendekatan yang seimbang (balanced literacy)—menggabungkan kekuatan phonics dengan whole language—sering kali lebih efektif. Ini mencerminkan kebutuhan untuk memahami literasi sebagai keterampilan teknis sekaligus proses sosial, di mana kemampuan membaca dasar harus diimbangi dengan pemahaman kritis dan apresiasi terhadap teks.

Di era digital, tantangan literasi menjadi semakin kompleks. Literacy myth, ideological literacy, dan reading wars semuanya relevan dalam menghadapi isu-isu modern seperti penyebaran hoaks, polarisasi sosial, dan ketidakadilan informasi.

Literacy myth mengingatkan kita bahwa meskipun literasi penting, ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai solusi untuk masalah sosial.

Sementara itu, ideological literacy menyoroti perlunya mengajarkan literasi yang kritis dan inklusif, agar masyarakat mampu memahami dan menantang narasi dominan yang mungkin tidak adil.

Dalam konteks ini, debat reading wars memberikan wawasan tentang pentingnya pendekatan yang seimbang dalam mengajarkan literasi.

Misalnya, literasi digital menjadi keterampilan penting di era media sosial, di mana informasi yang salah atau bias ideologis dengan mudah menyebar dan memengaruhi opini publik.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved