Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

OPINI LANI MARA S : Membaca Kelanjutan Nasib Sritex

Sudah hampir dua bulan perusahaan raksasa Tekstil PT Sri Rejeki Isman, Tbk (Sritex) yang terbesar di Asia Tenggara ini dinyatakan pailit

istimewa
Lani Mara S 

Oleh Lani Mara S

Mahasiswa Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS

TRIBUNJATENG.COM --  Sudah hampir dua bulan perusahaan raksasa Tekstil PT Sri Rejeki Isman, Tbk (Sritex) yang terbesar di Asia Tenggara ini dinyatakan pailit melalui Putusan Pengadilan Negeri Niaga Semarang dalam perkara Nomor: 2/Pdt. Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg pada 21 Oktober 2024.

Nasib Perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1966 ini belum ada progres kelanjutan yang pasti pasca putusan pailit.

Negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah dan Kurator belum ada hasil hingga saat ini. Pemerintah yang waktu itu berjanji bahwa masalah kepailitan PT. Sritex ini akan menjadi prioritas negara, hilang tanpa kabar bagai dibawa angin, tidak ada tanda-tanda progres apapun mengenai penyelesaian kepailitan ini.

Meskipun saat ini pabrik terlihat masih terlihat ada aktivitas operasional, namun saat ini bahan baku
pabrik sudah berangsur habis, mesin sudah banyak pula yang distop, produksi berhenti, dan nasib karyawan tidak jelas bahkan telah banyak yang dirumahkan akibat volume produksi yang menurun.

Perusahaan semakin terpuruk dan mengalami kesulitan cash flow apalagi setelah rekening juga telah dibekukan oleh Kurator sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU), ketentuan mengenai operasional perusahaan yang telah dinyatakan pailit.

Di dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa setelah pengadilan menjatuhkan pailit, status operasional perusahaan akan mengalami perubahan signifikan, dan pengelolaannya berada di bawah pengawasan pihak kurator termasuk pengelolaan harta pailit (boedel pailit) menjadi dalam penguasaan kurator, yang ditunjuk oleh pengadilan. Kurator bertanggung jawab untuk mengelola dan membereskan harta pailit demi kepentingan para kreditur, sedangkan Direksi atau pengurus perusahaan kehilangan haknya untuk mengelola perusahaan (Pasal 24 UU KPKPU).

Setelah vonis pailit, operasional perusahaan tidak sepenuhnya dihentikan tetapi berada di bawah kendali kurator dengan pengawasan dari hakim pengawas. 

Keputusan melanjutkan atau menghentikan operasi bergantung pada penilaian Kurator, apakah tindakan tersebut dapat menguntungkan para kreditur atau tidak.

Oleh sebab itu operasional Perusahaan masih terlihat berjalan, waktu dalam kondisi cash flow yang minus. Saat ini pihak Direksi atau pengurus masih berjuang untuk melakukan.

Upaya Keberlanjutan Usaha (Going Concern)

Going Concern adalah usaha untuk menjaga kelangsungan hidup operasional perusahaan meskipun perusahaan telah dinyatakan pailit. Ketika upaya going concern disetujui, maka perusahaan masih dianggap memiliki kemampuan untuk terus beroperasi, menghasilkan pendapatan, dan memenuhi kewajibannya di masa
depan.

Namun keinginan pihak direksi dan pengurus Perusahaan ini bertentangan dengan LK per September 2024 (sebelum putusan pailit), cash flow dari aktivitas operasional saja sudah mengalami defisit sebesar USD 7.097.640 (setara dengan Rp 110 miliar). 

Selain itu total utang per September 2024 mencapai USD 1,6 Milyar (setara dengan Rp 25 triliun), di mana nominal ini belum bersifat final karena masih dapat berubah sesuai hasil rapat kreditor untuk verifikasi tagihan para kreditor yang akan diputuskan oleh Kurator yang ditunjuk, sehingga masih ada potensi bertambahnya hutang perusahaan menjadi lebih besar lagi.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved