Daftar Pungutan dan Kenaikan Tarif yang Sambut Masyarakat di 2025, Daya Beli bakal Makin Anjlok
Masyarakat Indonesia perlu bersiap menghadapi banyaknya pungutan dan kenaikan tarif yang diterapkan pada 2025
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Masyarakat Indonesia perlu bersiap menghadapi banyaknya pungutan dan kenaikan tarif yang diterapkan pada 2025, di mana akan mempengaruhi beban pengeluaran sehari-hari.
Hal itu mulai dari penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, kenaikan pajak membangun rumah sendiri, pemberlakuan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), pengenaan opsen pajak, rencana kenaikan harga BBM, hingga kenaikan tarif listrik.
Menanggapi hal itu, Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C Permana menilai, sederat kebijakan itu akan memberikan tekanan signifikan terhadap daya beli masyarakat, terutama bagi kelas menengah.
"Pasti disposable income-nya akan turun," ujarnya, kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).
Baca juga: 80 Ribu Pekerja Kena PHK hingga Desember 2024, 60 Perusahaan Menyusul akan PHK Karyawan
Ia khawatir banyaknya kebijakan yang membebani dompet masyarakat di tahun depan akan membuat jumlah kelas menengah di Republik ini semakin menurun.
Hal itu karena berbeda dengan masyarakat bawah yang banyak mendapatkan perlindungan melalui program bantuan sosial, subsidi kesehatan, hingga diskon listrik.
"Iya makin berat beban (kelas menengah-Red), apalagi sudah mulai ada dorongan untuk frugal living (hidup hemat-Red)," katanya.
Menurut dia, apabila tren frugal living itu terus berlanjut, konsumsi masyarakat akan semakin menurun, sehingga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari berbagai pungutan yang akan dijalankan pemerintah di tahun 2025, Fikri menganggap, tarif PPN 12 persen merupakan kebijakan yang harus ditunda.
Pasalnya, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan berdampak kepada seluruh lapisan masyarakat.
Hal itu berbeda dengan pungutan cukai MBDK yang dirasa akan berdampak terhadap konsumen tertentu.
Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menilai, sederet kebijakan tersebut diyakini akan memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan pekerja sektor informal.
Hal itu karena kenaikan UMP hanya akan dirasakan oleh pekerja formal, sehingga tidak akan mengompensasi pekerja informal dari berbagai pungutan di tahun depan.
Di sisi lain, kenaikan harga barang akibat PPN dan harga energi yang akan semakin mahal juga membuat kenaikan UMP terasa tidak signifikan.
Ronny khawatir kebijakan itu akan berdampak terhadap konsumsi rumah tangga yang selama ini menyumbang sekitar 53-54 peresen dari total pertumbuhan ekonomi.
"Harga barang mulai naik karena PPN, harga energi karena subsidinya dialihkan mulai naik untuk kelas menengah. Jadi prospek daya beli di tahun 2025 ini akan sangat dipertanyakan," ucapnya.
Ia menilai, pungutan pajak yang akan membebani kelas menengah juga akan mengganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi, baik dari jangka pendek maupun jangka panjang.
"Karena menurun konsumsi rumah tangga akibat daya beli masyarakat yang semakin tertekan, terutama kelas menengah yang semakin tertekan oleh pajak," jelasnya.
Tak hanya dari sisi pertumbuhan ekonomi, Ronny juga khawatir penurunan daya beli kelas menengah turut berdampak terhadap masuknya aliran investasi di dalam negeri. Pasalnya, jika konsumsi masyarakat melemah, maka minat untuk investasi terutama di sektor riil akan menurun.
"Orang (investor-Red) akan berpikir bagaimana mau investasi kalau daya beli masyarakatnya saja turun. Siapa yang mau beli produk saya," tukasnya.
Ronny memprediksi, investasi yang akan tumbuh akan lebih banyak di sektor portofolio keuangan, yang kontribusinya terhadap pembukaan lapangan kerja baru relatif kecil. "Ini akan semakin memperburuk keadaan," tandasnya.
Petisi berlanjut
Adapun, penolakan terhadap kebijakan kenaikan tarif PPN 12 persen melalui petisi online terus berlanjut.
Petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" yang diinisiasi kelompok Bareng Warga di platform Change.org, telah berhasil mengumpulkan 179.052 tanda tangan, sejak pertama kali dibuat pada 19 November 2024 hingga berita ini ditulis.
Petisi itu mencerminkan keresahan banyak pihak terhadap kebijakan yang dianggap akan memberatkan, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.
Menurut Bareng Warga, satu penggagas petisi, kenaikan tarif PPN 12 persen diperkirakan akan mendorong lonjakan harga barang dan jasa. Hal itupun dinilai akan semakin menggerus daya beli masyarakat yang sudah terbebani oleh kondisi ekonomi saat ini.
"Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas," tulis Akun Bareng Warga, dikutip Senin (23/12).
Penolakan itu juga mencerminkan keresahan berkait dengan dampak langsung kebijakan PPN 12 persen terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, yang dipandang akan memperburuk daya beli dan memperlebar kesenjangan ekonomi.
Meski pemerintah telah berjanji akan memberikan beberapa insentif untuk meringankan beban, seperti pembebasan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, petisi itu menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih merasa kebijakan tersebut akan menambah kesulitan.
Hingga saat ini, petisi penolakan ini masih terus mendapat perhatian dari berbagai kalangan, yang berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan yang dirasa memberatkan bagi banyak pihak. (Kontan/Dendi Siswanto)
UIN Saizu Matangkan Persiapan AMI 2025, Plt Kabiro AUPK Tegaskan Komitmen Tingkatkan Mutu |
![]() |
---|
Bupati Kudus Buka Musda VI LDII: Dari Lokal Menyumbang Karakter untuk Indonesia |
![]() |
---|
Update Harga BBM Pertamina per September 2025: Ada Penurunan Harga |
![]() |
---|
SYARAT KUR BRI Sept 2025: Bisa Pinjam hingga Rp500 Juta, Ini Ketentuannya |
![]() |
---|
Brosur KUR BRI September 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.