Breaking News
Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Ari Pujiwinarko Rumuskan Konsep Segitiga MIRIAM, Teliti Lahan Pertanian di Dataran Tinggi Dieng

Konsep persyaratan minimal pemodelan agroforestri ideal atau Segitiga MIRIAM ( Minimum Requirements

Editor: muh radlis
IST
PROMOSI DOKTOR - Ari Pujiwinarko saat sidang terbuka Promosi Doktor, 10 Februari 2025 di ruang sidang utama gedung A Pascasarjana UNDIP. Proses sidang promosi doktor tersebut juga dilaksanakan secara hibrid. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Konsep persyaratan minimal pemodelan agroforestri ideal atau Segitiga MIRIAM ( Minimum Requirements for the Ideal Agroforestry Modelling) sukses mengantarkan Ari Pujiwinarko meraih gelar doktor. 

Pada sidang terbuka Promosi Doktor, 10 Februari 2025 di ruang sidang utama gedung A Pascasarjana UNDIP, mahasiswa pasca sarjana yang kini bekerja di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah itu raih gelar Doktor dalam bidang ilmu lingkungan dengan predikat Cumlaude. 

Ari Pujiwinarko menjadi satu satunya penyuluh kehutanan di DLHK Jateng yang berhasil meraih gelar doktor. Proses sidang promosi doktor tersebut juga dilaksanakan secara hibrid karen menghadirkan penguji eksternal dari Australia, 

Ari, sapaan akrabnya, berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan para penguji yang terdiri dari Prof. Ir. Mochamad Agung Wibowo, M.M., M.Sc., Ph.D. , Dr. Budi  Warsito, S.Si., M.Si., Prof. Dr. Ir. Florentina Kusmiyati, M.Sc. , Prof. Dr.sc.agr. Iwan  Rudiarto, S.T., M.Sc. dan Prof. Peter Gell dari Federation University.

Bahkan Prof. Dr. Tri Retnaningsih Soeprobowati, M.App.Sc. dan Prof. Dr. Dra. Kismartini,  M.Si., selaku penguji sekaligus Promotor dan Ko Promotor mengatakan bahwa penelitian dari Ari Pujiwinarko dengan topik “Evaluasi Sistem Pertanian Lokal berbasis tanaman pangan sebagai Dasar Pengembangan Model Agroforestri pada lahan pertanian di Dataran Tinggi”, termasuk penelitian yang Out of The Box.

Penelitian dilakukan secara  komprehensif, menghasilkan banyak data dan pemodelan yang layak digunakan sebagai  referensi ataupun bahan policy brief untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya lahan pertanian di dataran tinggi, tidak hanya di Dieng, namun juga di dataran tinggi lainnya di Indonesia. 

Lebih jauh lagi konsep Triangle MIRIAM, yang dirumuskan oleh Ari Pujiwinarko merupakan konsep ilmiah baru dan dianggap memenuhi syarat keterbaruan atau Novelty oleh  para penguji.

Menurut Ari, sebagian besar lahan pertanian di dataran tinggi di Indonesia dalam kondisi kritis, salah satunya di Dieng.

Sistem pertanian lokal berbasis kentang yang telah lama dipraktikkan petani di Dieng secara nyata telah meningkatkan taraf kehidupan ekonomi dan sosial, namun disisi lain telah  menyebabkan degradasi lahan karena praktik pertanian intensif yang mengindahkan konservasi. 

Oleh karena itu, penelitiannya berkonsentrasi di kawasan Dieng, pada sentra kentang di Kecamatan Batur dan Kejajar, Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, dua wilayah yang sering dianggap sebagai representasi kawasan Dieng utama, namun sekaligus wilayah yang paling rentan terkait degradasi lahan karena budidaya pertanian intensif. 

Menurut Ari, sejatinya berbagai program berbasis vegetasi termasuk Agroforestri, yaitu  teknologi pengelolaan lahan dengan mengkombinasikan tanaman pangan/pertanian dengan pohon, dan atau MPTS (Multipurpose trees species) seperti buah-buahan, bambu, tanaman penghasil minyak atsiri dan tanaman serbaguna lainnya, telah dilaksanakan di Dieng oleh berbagai Stakeholder terkait. 

Namun, tingkat keberhasilannya masihlah rendah, dibuktikan  dengan masih dominannya sistem monokultur kentang, rendahnya tingkat tutupan lahan  oleh pohon dan MPTS pada lahan pertanian, masih besarnya luasan lahan kritis serta  tingkat erosi yang masih tinggi di Dieng.

Menurut Ari, idealnya pemodelan agroforestri harus mampu mengakomodir minimal 3 hal dasar yang disebut konsep segitiga MIRIAM (Minimum Requirements for the Ideal Agroforestry Modelling) yaitu mengakomodir interaksi tanaman pada skala lapangan, melibatkan multi stakeholder dalam perencanaannya/minimal stakeholder yang paling rentan terkena dampak pengelolaan, serta terukur dampaknya secara ekonomi, sosial dan ekologi.

Hasil penelitiannya menunjukkan Nilai R/C rasio budidaya kentang yang diperoleh  berkisar 1,22 - 1,83 per tahun, mengindikasikan masih menguntungkannya budidaya monokultur kentang secara ekonomi. 

Wajar jika sebagian besar petani tetap mempertahankan tanaman kentang sebagai komoditas utama pada lahan, dan  agroforestri belum menjadi sistem pertanian utama di Dieng. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved