Berita Jateng
Cerita Sarwito di Tengah Mahalnya Harga Kedelai
Sarwito mengeluhkan harga kedelai terus naik, sedangkan harga tempe yang dijual tetap stabil. Hal ini membuat mereka merasa kesulitan bahan
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pagi itu, di sebuah rumah sempit di Jalan Wiroto VII No.18, Krobokan, Semarang Barat, Sarwito duduk bersandar di kursi kayu panjang. Tubuhnya masih dibalut keringat sisa produksi tempe yang baru rampung.
Sarwito terlihat merebah di kursi itu, sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang menyilang di atas keningnya.
Terlihat kaos berkerah yang digunakan Sarwito sedang ditanggalkan di pagar besi untuk mengeringkan keringat usai memproduksi.
"Ini sedang istirahat, karena nanti mau ke pasar jualan tempe. Sekarang kedelainya perkilonya Rp9ribuan mau Rp10ribuan naik terus tidak mau turun. Tapi saya masih jual tempe dengan harga yang sama," tutur Sarwito sambil mengubah posisinya menjadi duduk, Kamis (24/4/2025).
Dulu, sebelum pandemi meluluhlantakkan segalanya, Sarwito mengolah kedelai dalam jumlah kwintalan.
Dia bukan hanya seorang perajin, tapi juga juragan kecil dengan beberapa pekerja yang membantu produksinya.
Tapi Covid-19 tak pandang skala. Kini, dia sendirian mengolah 25 kilogram kedelai setiap harinya.
Tempe-tempe itu dia buat sendiri setelah subuh, rampung sekitar pukul 08.00. Setelahnya, dia hanya punya waktu beberapa jam untuk istirahat sebelum mengayuh becaknya ke pasar pada pukul 10.00 WIB.
Saat ini hanya inilah yang bisa dilakukan olehnya. Sarwito bukan tak tahu hitungan untung-rugi. Tapi baginya, pilihan menaikkan harga tempe justru lebih berisiko.
Pelanggannya di Pasar Karangayu yang mayoritas ibu-ibu dengan penghasilan pas-pasan bisa sewaktu-waktu pergi jika harga melambung.
"Saya kalau naikan harga tempe takut ga laku. Jadi yasudah keuntungan yang tipis saja," terangnya.
Sejak pandemi, harga kedelai impor memang tak pernah benar-benar stabil. Kini, ketika angka inflasi mulai naik pelan, harga bahan baku justru melompat lebih dulu.
Bagi perajin tempe skala rumahan seperti Sarwito, kondisi itu memukul keras. Apalagi ia tak membeli dalam jumlah ton-tonan seperti pabrik besar.
“Kalau beli cuma 25 kilo gini, harganya ya sudah segitu,” katanya sembari menghela napas.
Tempe buatan Sarwito dijual mulai Rp2.000 sampai Rp7.000 tergantung ukuran. Tapi dari seluruh kerja kerasnya memasak sejak subuh, membungkus sendiri, mengayuh becak ke pasar keuntungan bersih yang ia bawa pulang tak lebih dari Rp75.000 sehari.
Hari Anak Nasional: Bunda Forum Anak Kunjungi LPKA Kutoarjo dan Salurkan Bantuan |
![]() |
---|
Pertumbuhan Ekonomi Jateng Meningkat, Mohammad Saleh Minta Pemprov Pertahankan Kerja Kolaboratif |
![]() |
---|
Gubernur Ahmad Luthfi Minta Menteri ATR/BPN Menjaga Zona Hijau dan Lahan Produktif di Jateng |
![]() |
---|
Gandeng Pemprov Jateng, KKN UPGRIS 2025 Fokus Verifikasi RTLH di Semarang, Kendal dan Jepara |
![]() |
---|
Waspada Pancaroba dan Cuaca Ekstrem di Jateng, BMKG Prediksi Musim Kemarau Berakhir Agustus 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.