Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Jaringan Masyarakat Sipil Semarang-Solo Nilai RUU  Nomor 13 Tahun 2006 Masih Tebang Pilih

Kasus-kasus lainnya terutama berkaitan dengan isu kekerasan terhadap perempuan kurang diakomodir.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: M Syofri Kurniawan
TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO
KURANG TAMPUNG ASPIRASI: Komisi XII DPR RI melakukan rapat dengar pendapat di Kantor Wilayah Kementerian Hukum Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Sabtu (26/4/2025). Rapat itu dinilai kurang mengakomodir para korban terutama dari korban kekerasan perempuan. (TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO) 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Jaringan Masyarakat Sipil Semarang menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih tebang pilih dengan memprioritaskan isu terorisme.

Kasus-kasus lainnya terutama berkaitan dengan isu kekerasan terhadap perempuan kurang diakomodir.

"Kalau saya lihat UU tersebut lebih fokus ke isu terorisme, kompensasi juga pada isu terorisme. Seharusnya isu kekerasan terhadap perempuan juga harus diakomodir," jelas Aktivis perempuan dari Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) , Nia Lishayati, selepas Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI di Kantor Wilayah Kementerian Hukum Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Sabtu (26/4/2025).

Baca juga: Jawaban Kejati Jateng Soal "Pingpong" Berkas Kasus Pemerasan PPDS Undip Semarang

Selain keluhan tersebut, Nia juga memberikan masukan dalam RUU tersebut agar bisa menampung hak restitusi (ganti rugi) korban.

Kemudian jangka waktu pendampingan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar bisa lebih diperpanjang.

"Iya, kami usulkan beberapa poin-poin tersebut karena berdasarkan kondisi di lapangan," ujarnya.

Berkaitan dengan hal restitusi, Nia menjelaskan hitungan restitusi yang sudah dilakukan LPSK bagi korban tidak serta merta langsung dimasukan ke dalam tuntutan oleh Jaksa maupun Hakim dalam  putusannya.

Masalah lainnya,  ketika restitusi telah diputuskan oleh hakim tapi dalam eksekusinya masih terdapat kendala. Artinya, masih ada pekerjaan rumah dari proses restitusi ini.

Nia menyebut, ketika restitusi tidak bisa diberikan seharusnya bisa menggunakan skema Dana Bantuan Korban (DBK) sesuai mandat UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sayangnya,  sampai saat ini skema DBK belum ada titik terang berupa peraturan turunannya.

"Makanya, sampai saat ini ketika ada kasus kekerasan terhadap perempuan yang diputuskan restitusinya masih hanya putusan pengadilan. Eksekusinya masih nol," bebernya. 

Nia juga menyinggung soal layanan pendampingan yang diberikan LPSK diperpendek manjadi 6 bulan dari 12 bulan.

Hal ini tentu berdampak kepada korban terutama para korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan kasus kekerasan seksual. Sebab, kasus-kasus ini proses hukumnya tidak bisa cepat. Bahkan bisa sampai 2 tahun.

"Karena itu, ketika layanan hanya diberikan 6 bulan dan harus ada perpanjangan lagi itu juga sangat berpengaruh terhadap hak-hak korban berupa hak layanan medis ,  psikososial maupun perlindungan fisik,"ucapnya.

Usulannya lainnya berupa Perluasan makna dari kata saksi.  Nia menyebut, saksi itu tidak hanya yang melihat kejadian tetapi saksi yang mendengar dari korban.

"Kami berharap aspirasi dari masyarakat sipil bisa dimasukkan ke dalam perubahan peraturan undang-undang perlindungan saksi dan korban," ujarnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved