Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Viral

Ada Anak yang Sampai Trauma, SMKN 4 Yogyakarta Minta MBG Dihentikan, Dana untuk Sarana Saja

Setidaknya ada tiga alasan penting yang membuat SMK Negeri 4 Yogyakarta meminta agar Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan

Editor: muslimah
Dokumentasi TribunJogja
PROGRAM MBG BERMASALAH - Pembagian Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMK Negeri 4 Yogyakarta. SMKN 4 Yogyakarta ingin hentikan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada tahun ajaran baru mendatang, berikut alasan-alasannya.  

TRIBUNJATENG.COM - Setidaknya ada tiga alasan penting yang membuat SMK Negeri 4 Yogyakarta meminta agar Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan pada tahun ajaran baru mendatang.

Diakui kalau program tersebut merupakan niat baik pemerintah dalam rangka meningkatkan gizi anak.

Namun dalam praktiknya, terdapat sejumlah kejadian yang membuat siswa bahkan ada yang trauma.

PYa, program perbaikan gizi anak-anak Indonesia yang digagas Presiden Prabowo Subianto itu justru memunculkan masalah-masalah baru di SMKN 4 Yogyakarta.

Baca juga: "Punya Otak Gak Kalian?" Megawati Hangestri Murka Aksinya di Proliga Disebut Tak Sesangar di Korea

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMKN 4 Yogyakarta Widiatmoko Herbimo pun mengungkap persoalan-persoalan yang menimpa pihaknya dari adanya pelaksanaan program MBG ini.

3 Alasan SMKN 4 Yogyakarta Setop MBG

1. Makanan Tak Layak Konsumsi
 
Widiatmoko mengatakan bahwa dalam beberapa kesempatan, sekolah menerima makanan yang dalam kondisi tidak layak konsumsi. 

Beberapa di antaranya ditemukan dalam keadaan basi, buah-buahan busuk, serta nasi dan lauk yang terdapat ulat.

"Katanya sih dari penyedia, itu justru bagus karena tidak pakai pestisida. Tapi kan tetap saja, masak ada ulatnya terus dimakan?” kata Widiatmoko, Senin (5/5/2025), dilansir TribunJogja.com.

“Itu baru saja, dua atau tiga hari lalu. Saya punya fotonya. Cuma satu memang, tapi ini bukan pertama kalinya. Mungkin sudah 6 atau 7 kali kejadian seperti itu,” sambungnya.

Pihak sekolah mengaku sudah menyampaikan berbagai keluhan itu kepada penyedia makanan. 

Namun, karena distribusi makanan dilakukan dalam jumlah besar dan dalam waktu terbatas, kualitas dan pengawasan tidak bisa dijamin merata. 

“Kami sudah laporkan ke penyedia. Bahkan kami punya grup khusus untuk menampung keluhan dan masukan. Tapi ya tetap saja kejadian serupa berulang. Jumlah siswanya banyak, jadi mungkin kontrolnya tidak maksimal,” kata Widiatmoko.

Lebih lanjut, Widiatmoko menjelaskan bahwa secara administratif, program MBG di sekolahnya masih berjalan. 

Namun, pelaksanaannya sering dihentikan sementara karena berbagai kondisi di sekolah, seperti saat siswa harus mengikuti kegiatan luar ruangan atau pembelajaran jarak jauh.

“Ya, sempat berhenti tapi bukan karena dihentikan oleh pemerintah, melainkan kami yang minta. Misalnya ada kegiatan di sekolah atau siswa belajar daring, kami minta untuk tidak dibagikan dulu, tapi keesokan harinya jalan lagi,” bebernya.

Meski secara teknis berjalan, kualitas makanan yang dibagikan kepada sekitar 1.200 siswa justru menjadi sumber keluhan utama. 

2. Buat Staf Kerepotan

Widiatmoko juga menilai bahwa pelaksanaan MBG justru menambah beban pekerjaan administratif bagi pihak sekolah. 

Yang mana pada waktu jeda makan bisa mencapai empat sampai enam jam karena harus menunggu makanan datang, dibagikan, dan dicek ulang. 

Hal tersebut mengganggu tugas-tugas utama staf dan guru.

“Misal, karyawan yang harusnya menyusun laporan keuangan jadi harus ngurus piring. Misalnya kami ambil 30 porsi per kelas, kalau jam 12 belum diambil, kami harus keliling cari. Kadang ketinggalan di kelas A atau B. Itu sering sekali terjadi,” ungkap Widiatmoko.

3. Buat Siswa Alami Trauma

Adapun dari sisi siswa, respons atas program MBG pun terbagi.

Ada yang merasa terbantu karena mendapat makan gratis, tetapi tidak sedikit yang justru memilih tidak menyentuh makanan tersebut karena trauma dengan kualitasnya.

“Ada yang pernah makan, lalu nemu ulat. Sejak itu nggak mau makan MBG lagi, sampai sekarang. Bahkan kalau dikasih makan di rumah masih mau, tapi kalau tahu itu dari MBG, langsung ditolak,” papar Widiatmoko.

Dengan berbagai permasalahan itu, pihak SMKN 4 Yogyakarta lantas tidak ingin melanjutkan program MBG pada tahun ajaran mendatang. 

Terlebih, sekolah kini telah berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang memberikan kewenangan lebih besar dalam pengelolaan dana dan program internal.

“Harapannya setelah tahun ajaran baru, kami tidak menerima lagi MBG. Karena bagi kami ini sudah menjadi beban tambahan, bukan bantuan. Banyak yang mengeluh juga, karena omzet mereka turun akibat MBG,” kata Widiatmoko.

Menurut Widiatmoko, anggaran MBG seharusnya dapat dialihkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan, seperti penyediaan pendingin ruangan atau alat bantu belajar.

Dicontohkan Widiatmoko, jika satu kali makan bernilai Rp10.000 untuk 1.200 siswa, maka dalam satu hari anggaran yang dihabiskan mencapai Rp12 juta.

“Dengan Rp12 juta sehari, dalam satu hari kami bisa beli tiga unit AC. Kalau dipakai untuk memasang AC di kelas, suasana belajar jadi lebih nyaman. Murid dan guru juga sering bilang, kalau bisa milih antara AC atau makan MBG, mereka pilih AC,” terangnya.

Widiatmoko menyatakan bahwa program MBG memang dilandasi niat baik untuk membantu siswa dari segi pemenuhan gizi. 

Namun, dalam pelaksanaannya, perlu dievaluasi ulang agar tujuan utama pendidikan tidak justru terganggu karena buruknya implementasi.

“Menurut saya, lebih baik anggaran MBG digunakan untuk sarana dan prasarana. Kalau mau tetap ada, harus ada pengawasan ketat dan pembagian tanggung jawab yang lebih jelas antara sekolah dan penyedia. Jangan semua beban dilempar ke sekolah,” tandasnya.

Respons Disdikpora Yogyakarta

Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengaku belum memperoleh data lengkap terkait kemungkinan sekolah yang menarik diri dari program ini.

“Kami mendukung program nasional. Hal-hal seperti itu (keluhan makanan) bisa disiasati. Kami akan berkoordinasi dan melakukan klarifikasi langsung ke sekolah karena sejauh ini kami belum menerima laporan resmi,” ujar Kepala Disdikpora DIY, Suhirman saat dikonfirmasi di Yogyakarta, Senin, dilansir TribunJogja.com.

“Belum, dari pusat juga belum ada informasi soal penambahan atau pengurangan sekolah. Kalau belum ada kebijakan lanjutan, kami juga belum bisa bergerak,” tambahnya.

Suhirman menjelaskan bahwa Disdikpora DIY tidak memiliki otoritas untuk mengalihkan atau menghentikan pelaksanaan program MBG di sekolah.

Penetapan lokasi sekolah penerima maupun pusat penyajian makanan sepenuhnya berada di bawah koordinasi Satuan  Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Sedangkan, peran Disdikpora terbatas pada menyiapkan sekolah dan memastikan faktor teknis seperti jarak tempuh dari dapur penyedia makanan. (*)

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Apa Kabar Makan Bergizi Gratis? Staf Keuangan Jadi Ngurus Piring, Siswa Trauma Ada Ulat

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved