Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Mahasiswa FTIK Bedah Arah Pendidikan : Konstruksi Pemikiran atau Sekadar Jembatan ke Dunia Kerja?

Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto sukses menggelar Diskusi Publik

UIN Saizu Purwokerto
Mahasiswa FTIK Bedah Arah Pendidikan Nasional: Antara Konstruksi Pemikiran atau Sekadar Jembatan ke Dunia Kerja? 

TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO -- Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto sukses menggelar Diskusi Publik bertema “Sorot Pandang Pendidikan di Indonesia: Pendidikan sebagai Konstruksi Pemikiran atau Sekadar Jembatan Pekerjaan”.

Acara yang dihelat di Ruang Sekretariat Lembaga Kemahasiswaan FTIK ini dihadiri puluhan mahasiswa lintas program studi yang antusias mendalami isu pendidikan nasional.

Dua narasumber kompeten dihadirkan dalam forum ilmiah ini, Dosen FTIK UIN Saizu, yakni Dr. Asef Umar Fakhruddin dan Dimas Indianto.

Dengan latar belakang akademik yang kuat dan pengalaman panjang di dunia pendidikan, keduanya mengulas secara tajam arah dan kondisi pendidikan Indonesia saat ini, yang dinilai masih berkutat di persimpangan antara idealisme pendidikan dan tuntutan pasar kerja.

Pendidikan: Ruang Pembebasan atau Sekadar Jalan Menuju Pekerjaan?

Dalam paparan awal, kedua narasumber memantik peserta untuk merefleksikan kembali hakikat pendidikan nasional.

Mereka menantang paradigma yang selama ini berkembang: Apakah pendidikan Indonesia masih menjadi wadah pembentukan karakter dan pembebasan intelektual, atau justru terjebak dalam kepentingan pragmatis sebagai jembatan menuju dunia kerja semata?

“Kita harus berani bertanya: apakah pendidikan hanya sekadar untuk bekerja? Kalau hanya sekadar itu, kerbau di sawah pun bekerja.

Pendidikan harus membentuk manusia yang unggul dan penuh hikmah,” tegas Dr. Asef Umar Fakhruddin.

Diskusi juga memperdalam pembahasan mengenai kurikulum sebagai instrumen vital dalam membentuk pola pikir kritis, karakter mulia, dan nilai-nilai kebangsaan.

Kedua narasumber sepakat bahwa pendidikan nasional tidak boleh terjebak hanya pada penguatan kompetensi kerja, melainkan harus mengedepankan pembentukan manusia seutuhnya yang berpikir kritis, berintegritas, dan berjiwa sosial.

Salah satu isu yang tak luput dari sorotan adalah ketimpangan akses pendidikan di Indonesia. Para peserta menyoroti bagaimana ketidakmerataan kualitas pendidikan memperlebar jurang sosial, sekaligus memengaruhi keberhasilan peserta didik di berbagai daerah.

“Ketimpangan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi nyata dirasakan di lapangan dan harus menjadi fokus bersama,” ujar Dimas Indianto.

Forum juga menilai adanya disfungsi dalam sistem pendidikan nasional, yang cenderung terlalu menitikberatkan capaian akademik dan kognitif, namun abai pada aspek afektif dan psikomotorik.

Paradigma sempit ini dinilai turut menyumbang rendahnya kualitas SDM Indonesia, yang acap kali dinilai kurang adaptif, minim kemandirian, dan lemah dalam berpikir kritis.

“Buku bukan soal mampu atau tidak mampu beli, tapi soal kemauan membaca dan terus belajar,” tambah Dimas Indianto, mengingatkan pentingnya literasi sebagai pondasi perubahan cara berpikir mahasiswa.

Pendidikan Bukan Gelar, Tapi Proses Berkelanjutan

Satu kutipan menarik yang menggugah kesadaran peserta adalah: “Pada akhirnya, bukan latar belakang pendidikan yang menentukan, melainkan latar belakang bacaan yang membentuk kita.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar titel atau institusi, melainkan proses pembelajaran yang berkelanjutan, berakar dari kemauan untuk membaca dan berpikir kritis.

Diskusi yang berlangsung hangat ini ditutup dengan harapan agar forum-forum serupa terus dihidupkan di lingkungan akademik.

 Selain memperluas wawasan mahasiswa tentang isu-isu pendidikan nasional, diskusi semacam ini juga diharapkan menjadi pemantik lahirnya dialog-dialog konstruktif yang berdampak nyata dalam membentuk sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Sebagai agen perubahan, mahasiswa FTIK diharapkan tidak hanya menjadi konsumen sistem pendidikan, tetapi juga turut aktif mengkritisi, menawarkan solusi, dan membangun ekosistem pendidikan yang lebih relevan, adil, dan berorientasi pada kemanusiaan. (*)

Baca juga: Daftar Pinjol Legal dan Ilegal 8 Mei 2025 Resmi dari OJK

Baca juga: Muhammad Yusuf, Driver Ojol Kaget Tahu Paket yang Ia Antar Berisi Mayat Bayi, Ada Surat di Dalamnya

Baca juga: Memantik Romansa 90an di JAKARTA 1997 Bareng Authenticity 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved