Berita Grobogan
Dulu Dijual di Pasar Gelap, Bagaimana Nasib Ribuan Fosil Banjarejo Grobogan Sekarang?
Di Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, ribuan fosil dan artefak purbakala pernah berada di bawah bayang-bayang pasar gelap.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, GROBOGAN – Di Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, ribuan fosil dan artefak purbakala pernah berada di bawah bayang-bayang pasar gelap.
Benda-benda berusia ratusan ribu tahun itu dulunya sempat diperjualbelikan secara ilegal akibat kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya pelestarian warisan budaya.
Namun kini, situasinya telah berubah drastis. Berkat inisiatif warga dan kepemimpinan Kepala Desa Banjarejo kala itu, Achmad Taufik, ribuan fosil tersebut berhasil diselamatkan dan dilestarikan.
Fosil-fosil itu kini tersimpan dan dipamerkan di Rumah Fosil Banjarejo, serta dua museum lainnya yang menjadi pusat edukasi sejarah dan kebudayaan.
Sebelum tahun 2010, fosil-fosil yang ditemukan warga Banjarejo dianggap sebagai 'watu balung' atau batu berbentuk tulang.
Karena minimnya pemahaman, banyak dari fosil tersebut dijual ke kolektor dari luar daerah.
"Sebelum tahun 2010 warga sering menemukan fosil, mereka menyebutnya 'watu balung' atau batu yang berbentuk tulang.
Kemudian tahun 2010 sampai 2015 terjadi jual beli fosil dengan oknum di luar daerah Banjarejo dan di luar Grobogan,” ujar Achmad Taufik kepada Tribun Jateng.
Kondisi tersebut mendorong Taufik dan warga mendirikan Rumah Fosil Banjarejo pada 2015.
Berlokasi di rumah joglo milik Taufik, tempat ini kini menyimpan lebih dari 1.400 fosil dan artefak bersejarah yang telah diinventarisir oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMP Sangiran).
"Tahun 2015 saya berpikir bahwa benda-benda cagar budaya ini tidak bisa diperbaharui dan itu harus dilestarikan untuk bukti kepada anak cucu kita nanti atau generasi yang akan datang," tutur Achmad Taufik.
Delapan tahun sejak pendiriannya, Rumah Fosil berkembang menjadi dua museum resmi.
Museum Banjarejo yang berlokasi di kantor desa kini menjadi pusat edukasi arkeologi lokal.
Disusul kemudian oleh Museum Lapangan Gajahan di Dusun Kuwojo, tempat ditemukannya fosil gajah purba yang hampir utuh.
Banjarejo secara geologis terletak di antara Pegunungan Kendeng Utara dan Selatan.
Di masa lampau, wilayah ini adalah selat laut yang kemudian surut, memungkinkan hewan purba melintas dan tinggal di dataran yang kini menjadi Desa Banjarejo.
Ketika laut kembali pasang, hewan-hewan tersebut terjebak dan mati, lalu membatu menjadi fosil seiring waktu.
"Jadi di Grobogan, termasuk Banjarejo terletak di antara dua bukit besar, Kendeng Selatan dan Kendeng Utara.
Di Banjarejo ini ada bukit kecil, dulu saat Grobogan masih berupa selat, ketika selat laut itu surut, hewan-hewan menyeberang dan bermukim di Banjarejo, ketika lautnya pasang, hewan itu terjebak di bukit Banjarejo dan mati," kata Taufik.
Achmad Taufik menerangkan, peradaban prasejarah di Banjarejo terjadi pada masa peralihan Homo Erectus ke Homo Sapiens.
"Peradaban purba di Banjarejo diperkirakan terjadi antara 600 ribu hingga 120 ribu tahun sebelum masehi, masa peralihan Homo Erectus ke Homo Sapiens," ujar Taufik.
Lebih lanjut, Taufik berharap fosil yang ditemukan di Banjarejo dapat dilestarikan dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Apalagi selain ditemukan fosil, di Banjarejo juga banyak ditemukan benda bersejarah yang diklaim peninggalan Medang Kamulan.
"Yang paling utama adalah pelestarian, agar generasi ke depan bisa melihat bukti-bukti sejarah yang kita bisa buktikan di sini.
Dari segi pendidikan, Banjarejo mengisi sejarah di masa prasejarah maupun di masa klasik Hindu Budha terkait peradaan di Indonesia," harap Taufik.
Museum Lapangan Gajahan: Temuan Spektakuler yang Sepi Peminat karena Akses Terbatas
Salah satu temuan paling monumental di Banjarejo adalah fosil gajah purba di kawasan Sendang Gandri.
Penemuan ini bermula ketika seorang warga bernama Rusdi menggali sumur untuk pengairan sawah.
Setelah dilaporkan dan di-eskavasi, ternyata rangka gajah purba berjenis Elephas ditemukan 80 persen dalam keadaan utuh.
Budi Setyo Utomo, Ketua Komunitas Peduli Fosil Banjarejo, menyebut temuan ini sebagai salah satu yang terbesar.
Ironisnya, akses menuju Museum Lapangan Gajahan masih sulit, hanya bisa dilalui kendaraan roda dua lewat jalur tanah persawahan.
"Sayangnya pengunjung banyak yang mengeluh karena jalannya belum memadai. Ini perlu perhatian dari pemerintah," ujar Budi Setyo Utomo.
Dukungan Warga dan Harapan Masa Depan
Budi menerangkan, warga Banjarejo telah sadar akan pentingnya pelestarian.
Setiap kali ditemukan fosil, laporan segera dikirimkan ke kepala dusun untuk kemudian diamankan ke museum atau gudang penyimpanan desa.
Pemerintah Kabupaten Grobogan juga telah membebaskan lahan seluas 7.000 meter persegi untuk mendukung pengembangan wisata edukasi dan alam di kawasan Museum Lapangan Gajahan ini.
"Untuk kunjungan wisata edukasi saya berharap dari pemerintah agar bisa mengembangkan selain untuk edukasi juga bisa dikembangkan untuk wisata alam yang lain karena tanah seluas 7000 meter persegi di sini sudah dibebaskan oleh Pemerintah Kabupaten," kata Budi. (*)
Baca juga: “Maaf, Silakan Matikan Rokok Anda” Kisah di Balik Kampus yang Berani Menjaga Udara Tetap Bersih
Baca juga: 100 Hari Kerja, Agustina-Iswar Berhasil Wujudkan Capaian-capaian Positif
Baca juga: Diisukan Dekat Dengan Baim Wong, Kimberly Beri Jawaban Tegas: Bukan Tipeku
Farida Farichah, Srikandi Grobogan Yang Kini Jadi Wakil Menteri Koperasi Pernah Jadi Ketum IPPNU |
![]() |
---|
Jurnalis Asal Grobogan Dibacok OTK, Ada Kaitannya Liputan Demo Petani Tanggungharjo? |
![]() |
---|
Aysah Bermimpi Jadi "Minions" di Porsema XIII 2025 Grobogan |
![]() |
---|
Detik-detik Mencekam Angin Puting Beliung Mengamuk Jelang Magrib di Grobogan |
![]() |
---|
Angin Puting Beliung Melanda Desa Tajemsari Grobogan, Dwi: Kejadiannya Jelang Maghrib |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.