Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Bencana Tanah Gerak di Sirampog Brebes

Tawa Palsu Yanto Korban Tanah Gerak Sirampog Brebes, Rumah Baru Renov Ditelan Bumi, Uang Pinjam Bank

Kisah warga desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes yang ditimpa bencana tanah bergerak

|
Penulis: Msi | Editor: muslimah

TRIBUNJATENG.COM, BREBES - Kisah warga desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes yang ditimpa bencana tanah bergerak.

Akibat bencana ini, 135 rumah rusak 120 di antaranya rusak berat dan 15 lainnya rusak sedang dengan total 570 jiwa terdampak. 

Bencana tanah bergerak melanda tiga dusun di Desa Mendala yakni Dusun Krajan, Babakan, dan Cupang Bungur.

Total luas area terdampak mencapai 90 hektare, terdiri dari 80 hektare lahan persawahan dan 10 hektare permukiman.

Kini para warga terdampak berjuang untuk bangkit di tengah segala keterbatasan.

Mereka seolah memulai hidup dari nol lagi.

Inilah kisah mereka:

Baca juga: Hipotesa BRIN, Tanah Bergerak di Mandala Brebes Bukan Longsor Biasa, Serentak di 3 Bukti

PATAH - Kondisi akses jalan warga yang patah dan hancur di Dukuh Krajan, Desa Mandala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, akibat bencana geologi landslide, Rabu (27/5/2025). Sebagian besar warga saat ini masih menetap di hunian sementara yang didirikan oleh pemerintah pasca bencana.
PATAH - Kondisi akses jalan warga yang patah dan hancur di Dukuh Krajan, Desa Mandala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, akibat bencana geologi landslide, Rabu (27/5/2025). Sebagian besar warga saat ini masih menetap di hunian sementara yang didirikan oleh pemerintah pasca bencana. (TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO)

Bau plamir masih menyengat di sudut rumah yang belum sempat ditempati itu. Kardus-kardus keramik berserakan di pelataran, semen putih menempel di dinding bata ringan, seolah menunggu untuk dirapikan. Namun semua itu kini hanya menyisakan perih.

Rumah itu milik Yanto (55), warga Dukuh Krajan, Desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes. Hunian yang seharusnya menjadi tempat bernaung dan simbol pencapaian hidup, kini berdiri miring di atas tanah yang ambles hampir 15 meter. 

Di sekelilingnya, beberapa rumah hancur tak bersisa, ditelan bencana tanah bergerak yang menerjang wilayah itu.

“Ya mau bagaimana lagi, sudah jadi seperti itu,” ucap Yanto lirih dengan logat khas ngapak, saat ditemui Tribun Jateng, Rabu (27/5/2025). 

Sesekali ia melempar senyum, bahkan tawa, tapi matanya berkaca-kaca. Rasa kecewa dan sedih tak bisa ia sembunyikan, meski berusaha tampak tegar.

Yanto bercerita, rumah itu baru saja direnovasi. Ia meminjam uang dari bank untuk mewujudkan impiannya, rumah yang layak, nyaman, dan bisa ia wariskan kelak. 

Namun belum sempat ditempati, rumah itu menjadi saksi bisu ganasnya alam yang tak bisa ditebak.

Kini, Yanto tinggal di hunian sementara (huntara), bersama ratusan warga lainnya yang juga kehilangan tempat tinggal. 

Kehidupan di huntara bukan hal mudah. Namun, bagi Yanto, rasa syukur masih menjadi pegangan. 

Ia tetap berusaha berguna, membantu warga lain memunguti sisa-sisa besi dari bangunan yang runtuh apa saja yang bisa diselamatkan, meski hanya sebatang besi tua.

"Kalau dijual ya sudah tidak bisa. Mungkin kalau bank mau menyita rumah saya, ya saya berikan saja. Toh kondisinya juga sudah seperti itu," ujarnya pasrah.

Di tengah deraan nasib, Yanto masih memikirkan pinjaman bank yang ia ajukan untuk renovasi rumah. 

Ia tahu kewajiban itu belum lunas. Namun ia juga tahu, tak ada yang bisa ia lakukan saat ini.

"Bank sudah tahu kejadiannya, dan katanya ada keringanan. Tapi belum jelas keringanan seperti apa. Kalau disuruh bayar sekarang, saya belum bisa," ucapnya pelan.

Yanto hanyalah satu dari ratusan korban bencana tanah bergerak di Desa Mendala. 

Namun kisahnya adalah cermin dari betapa rapuhnya hidup, dan betapa kuatnya manusia yang bertahan.

Di tengah puing-puing harapan yang runtuh, masih ada semangat untuk berdiri kembali.

Tangis Nasrullah Pecah Lihat Reruntuhan Rumahnya 

TANAH AMBLAS - Dua orang berdiri di tepian patahan tanah di Dukuh Krajan, Desa Mandala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Rabu (27/5/2025). Akibat bencana geologi landslide, tanah di wilayah tersebut amblas hingga 15 meter.
TANAH AMBLAS - Dua orang berdiri di tepian patahan tanah di Dukuh Krajan, Desa Mandala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Rabu (27/5/2025). Akibat bencana geologi landslide, tanah di wilayah tersebut amblas hingga 15 meter. (TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO)

Nasib tak jauh beda dialami Nasrullah (57), Yanto (55).

Siang itu keduanya dan lima warga Krajan, Desa Mandala lainnya tengah beristirahat siang usai bahu membahu membersihkan sekaligus mengais barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan dari reruntuhan rumah Nasrullah, satu dari belasan rumah di dusun Krajan yang rusak berat akibat bencana tanah bergerak yang menimpa dusun mereka. 

Batang kayu, potongan besi dari tulangan beton dikumpulkan dari reruntuhan rumah yang masih menyisakan warna oranye di dindingnya itu.

Sesekali, tatapan mereka tertuju ke arah perkampungan yang sudah tak berbentuk lagi. Nyaris semua rumah yang ada di kampung mereka roboh.

Beberapa di antaranya bahkan ambles tertelan bumi usai bencana tanah bergerak yang terjadi pada Kamis (17/4/2025) malam. 

“Saya ingat anak dan utamanya cucu yang biasanya riang gembira main di rumah dan kampung ini,” kata Nasrullah yang seketika membuat suasana menjadi sedikit kaku. 

Tak melanjutkan kalimatnya, Nasrullah justru tampak menyeka matanya yang sudah basah dengan bulir bening yang mengucur deras dari kedua matanya. 

Sambil terisak dan menarik nafas dalam-dalam, Nasrullah mencoba menguatkan diri untuk melanjutkan ceritanya. 

Ia mengakui, uapayanya untuk mengais barang-barang dari rumahnya yang sudah roboh sebenarnya tak lebih dari caranya untuk mengobati kegundahan hatinya.

“Rasanya getir melihat rumah yang sudah miring dan rusak. Sakit rasanya melihat kenangan anak-anak dan utamanya cucu main di rumah. Lebih baik dirobohkan saja daripada ingat yang tidak-tidak,” imbuh Nasrullah. 

Mereka secara bergantian bergotong royong mengais barang-barang yang bisa diambil dari rumah mereka sambal meratakan rumah mereka yang sudah rusak parah. 

“Kalaupun kami mengumpulkan besi atau kayu, belum tentu bisa kami manfaatkan lagi. Ini semua adalah upaya menghibur diri. Apalagi saat ini kami semua nyaris tak bisa bekerja karena sawah kami juga sudah rusak,” kata Nasrullah. 

Rumah Nasrullah dan Yanto adalah bagian dari 135 rumah lain yang bernasib serupa. Bencana tanah bergerak ini terjadi di tiga dusun di Desa Mandala, Sirampog, Brebes

Landslide di wilayah Kecamatan Sirampog terjadi pada Kamis, 17 April 2025, sekitar pukul 02.00 WIB.

Pergerakan tanah pertama kali terjadi di Desa Mendala setelah hujan deras mengguyur wilayah tersebut. 

Kemiringan lereng di wilayah Sirampog yang mencapai 60 derajat memperparah kondisi dan menyebabkan tanah bergeser ke arah Kali Pedes atau ke arah barat laut.

Pada 21 April 2025, jumlah rumah yang rusak akibat pergerakan tanah terdata mencapai 112 unit. 

Warga yang terdampak mulai mengungsi ke posko bencana alam yang didirikan oleh BPBD Brebes.

Sehari berselang pada 22 April 2025,  pergerakan tanah meluas ke pedukuhan lainnya.

Sepekan kemudian 28 April 2025, BPBD Brebes mencatat total rumah rusak berat atau roboh mencapai 120 unit dan 15 rumah mengalami kerusakan sedang. 

Jumlah warga terdampak sekitar 570 jiwa beberapa mengungsi ke berbagai titik pengungsian.

Selain rumah warga, pergerakan tanah merusak fasilitas umum seperti jalan desa, tempat ibadah, dan sekolah.

Tiga dukuh di Desa Mandala juga luluh lantah yaitu di Dukuh Krajan, Karanganyar, Babakan, dan Cupang Bungur.

Pemerintah Kabupaten Brebes juga menetapkan status Tanggap Darurat Bencana selama 30 hari sejak 17 April hingga 16 Mei 2025.

Hingga kini, ratusan warga terdampak masih mendiami hunian sementara dan tak tahu harus berbuat apa.

Meski ada wacana pemindahan warga terdampak ke hunian tetap di dua lokasi yaitu di Desa Buniwah dan Manggis, namun belum ada kejelasan kapan mereka akan dipindahkan.

Pasalnya lahan tersebut masih akan dikaji oleh Badan Geologi untuk memastikan kelayakannya sebelum pembangunan hunian tetap dimulai.

Penantian Sembilan Bulan 

Di tengah kepedihan nasib warga terdampak landslide, warga terdampak masih harus menunggu berbulan-bulan agar bisa mendapatkan hunian tetap.

Kabar tersebut didengar langsung oleh masyarakat Desa Mandala beberapa waktu lalu usia menempati hunian sementara.

Hal tersebut membuat warga terdampak yang menempati hunian sementara semakin lemas dan risau.

Satu di antaranya Basuri (54) warga Dukuh Krajan, kursi plastik berwarna hijau yang ia duduki selam di lokasi hunian sementara seolah menjadi saksi kegelisahannya.

"Kabarnya kami harus menunggu sembilan bulan untuk bisa menempati hunian tetap. Karena harus ada kajian dari desa ke pemerintah kabupaten lalu ke provinsi dan seterusnya," terang Basuri yang selalu nampak bingung seolah memikirkan nasib keluarganya ke depan.

Ditengah kegelisahannya, Basuri mengatakan warga terdampak landslide  tidak bisa berbuat apa-apa.

Menunggu dan pasrah, hanya itu yang bisa dilakukan oleh warga terdampak tanah gerak di Desa Mandala.

Dalam penantiannya Basuri berharap bisa mendapatkan hunian tetap secepat mungkin.

"Bingung saya, tapi saya dan warga lainnya berharap hunian tetap bisa segera dibangun. Supaya tidak tinggal di hunian sementara terus," imbuhnya.

"Kami Belum Selesai dengan Ujian Ini"

Di sudut lain Huntara, Istiana, perempuan asal Kuningan, Jawa Barat, memunguti daun singkong di tengah reruntuhan rumah yang dulu ia tempati. 

Di antara sisa tiang penyangga yang masih berdiri, ia menunjuk dan berkata lirih, “Itu rumah saya, Mas. Sekarang seperti itu kondisinya.”

Dengan hati-hati ia melangkah melewati pecahan batu bata dan puing atap. Daun-daun singkong yang dikumpulkannya akan ia masak untuk keluarga. 

“Memang bantuan makanan datang, tapi mie instan terus. Anak dan suami butuh makan bergizi,” ujarnya.

Istiana masih ingat betul malam saat tanah mulai bergerak. Gerakannya lambat, namun pasti. 

“Awalnya saya tidak khawatir, tapi saat pintu rumah tidak bisa dibuka karena kusennya miring, saya tahu kami harus pergi," terangnya.

Pada Senin (21/4), rumah-rumah di Dukuh Krajan sudah porak-poranda. Untungnya, hampir seluruh warga telah mengungsi. 

BPBD Brebes mencatat setidaknya 570 jiwa terdampak bencana ini. Dalam sepekan, jumlah rumah rusak berat meningkat menjadi 120 unit.

Meski sudah berada di Huntara, rasa was-was belum sepenuhnya hilang. Sehari setelah huntara diresmikan, hujan deras menyebabkan banjir dan lumpur masuk ke dalam bedeng. 

“Nasib kami, belum selesai dengan tanah gerak, sekarang sudah kebanjiran,” keluh Istiana.

Pemkab Ajukan 130 Huntap

PORAK-PORANDA - Potret pada Rabu (27/5/2025) kondisi puluhan rumah di Dukuh Krajan, Desa Mandala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes porak-poranda akibat bencana tanah gerak. Bencana ini terjadi pada Kamis (17/4/2025) dan berdampak pada 570 jiwa di tiga dukuh di desa tersebut.
PORAK-PORANDA - Potret pada Rabu (27/5/2025) kondisi puluhan rumah di Dukuh Krajan, Desa Mandala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes porak-poranda akibat bencana tanah gerak. Bencana ini terjadi pada Kamis (17/4/2025) dan berdampak pada 570 jiwa di tiga dukuh di desa tersebut. (TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO)

Bencana tanah bergerak yang melanda tiga dusun di Desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, meliputi Dusun Krajan, Babakan, dan Cupang Bungur. Total luas area terdampak mencapai 90 hektare, terdiri dari 80 hektare lahan persawahan dan 10 hektare permukiman.

Akibat bencana ini, 135 rumah rusak 120 di antaranya rusak berat dan 15 lainnya rusak sedang dengan total 570 jiwa terdampak. 

Badan Geologi Kementerian ESDM menyatakan, wilayah tersebut sudah tidak layak huni dan tidak bisa lagi digunakan sebagai lahan pertanian karena masih berpotensi bergerak.

Plt Kalaksa BPBD Brebes, Wibowo Budi Santoso, menjelaskan bahwa bencana berlangsung bertahap. "Hari pertama ambles sekitar 30 sentimeter, lalu dalam seminggu berikutnya pergerakan tanah mencapai lebih dari 10 meter," ujarnya, Jumat (30/5).

Saat ini, para korban telah dipindahkan ke Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun Pemkab Brebes dan mulai ditempati sejak 21 Mei 2025, setelah satu bulan sebelumnya tinggal di posko pengungsian. 

Total terdapat 130 unit huntara berukuran 3x6 meter, dibangun menggunakan baja ringan dan dinding gazebo, dengan biaya Rp1,3 miliar dari total anggaran penanganan sebesar Rp1,6 miliar yang bersumber dari APBD Kabupaten Brebes.

“Untuk logistik di Huntara masih cukup untuk satu bulan ke depan. Bantuan jaminan hidup dari Kemensos juga diberikan, Rp10 ribu per jiwa per hari selama 90 hari,” tambah Wibowo.

Karena kondisi wilayah sudah tidak memungkinkan untuk ditinggali, Pemkab Brebes mengajukan pembangunan 130 unit Hunian Tetap (Huntap). 

Proposal diajukan ke BPBD Jawa Tengah untuk penyediaan tanah senilai Rp15 juta per unit, dan ke BNPB melalui Dana Siap Pakai (DSP) untuk pembangunan fisik huntap sebesar Rp60 juta per unit.

Menurut Wibowo, lokasi hunian tetap yang diusulkan seluas 1,6 hektare telah melalui kajian geologis dan dinyatakan aman. 

"Proses pembelian tanah dan pembangunan huntap akan dikelola langsung oleh warga melalui kelompok masyarakat (pokmas), dengan bantuan langsung masuk ke rekening mereka," jelasnya.

Namun, ia mengakui bahwa proses ini tidak bisa cepat. “Kalau merujuk pengalaman daerah lain, prosesnya bisa memakan waktu paling cepat satu tahun,” katanya.

BPBD Brebes juga terus menjalin komunikasi dengan instansi pemerintah dan pihak swasta untuk memastikan kebutuhan masyarakat terdampak tetap terpenuhi. 

Wibowo mengimbau masyarakat untuk lebih menjaga lingkungan, khususnya di kawasan hulu dan pegunungan. 

"Mari kita jaga alam. Hutan yang gundul harus jadi perhatian kita bersama," ujarnya.

Pernyataan Tegas Gubernur Jateng

Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, yang telah meninjau lokasi pengungsian di Gunung Poh, Sirampog beberapa waktu lalu menegaskan pentingnya pertimbangan geologis dalam proses relokasi.

“Saya ingin agar segera dicarikan tempat yang representatif. Harus cepat, dan dikaji secara geologis. Jangan sampai kita memindahkan penduduk, tapi jalurnya nanti mbledug meneh (bergerak lagi). Harus benar-benar aman untuk tempat tinggal,” tegasnya.

Sebagai bentuk dukungan, Pemprov Jateng telah menggelontorkan bantuan sebesar Rp2,01 miliar untuk mendukung proses rekonstruksi, termasuk perbaikan rumah dan fasilitas ibadah.

Gubernur juga menekankan pentingnya pendekatan psikososial dalam relokasi. 

“Yang paling penting bukan hanya memindahkan fisik warga, tapi juga mentalnya. Harus yakin dan siap tinggal di tempat baru, bukan kembali ke lokasi lama yang berisiko,” ujarnya.

Ahmad Luthfi berharap seluruh proses dapat berjalan cepat dan tepat, demi keselamatan dan kenyamanan warga. 

“Kita tidak boleh main-main dalam urusan ini. Nyawa dan masa depan warga jadi prioritas,” imbuhnya. (fba/bud)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved