Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Duduk Perkara Pak Guru Gugat Batas Usia Pensiun Guru ke MK, Kok Beda Dosen Lebih Lama Lima Tahun?

Adalah Sri Hartono (59) Seorang guru SMA Negeri 15 Semarang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Editor: galih permadi
tribunjateng/hermawan handaka
ILUSTRASI mengajari anak untuk mengendalikan emosi dan latihan mandiri 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Berikut duduk perkara seorang Pak Guru di Kota Semarang, Jawa Tengah menggugat batas usia pensiun guru dan dosen.

Sidang perdana permohonan uji materi ini dijadwalkan digelar secara daring pada Selasa, 24 Juni 2025.

Adalah Sri Hartono (59), guru SMA Negeri 15 Semarang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Sosok Sri Hartono, Guru SMAN 15 Semarang Yang Gugat MK Soal Usia Pensiun Dosen Lebih Lama 5 Tahun

USIA PENSIUN - Guru asal SMA Negeri 15 Semarang, Sri Hartono (59) saat bertemu awak media di Semarang, Jumat (20/6/2025). Hartono mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi (MK).
USIA PENSIUN - Guru asal SMA Negeri 15 Semarang, Sri Hartono (59) saat bertemu awak media di Semarang, Jumat (20/6/2025). Hartono mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi (MK). (Tribun Jateng/ F Ariel Setiaputra  )

Dia mempermasalahkan Pasal 30 ayat (4) yang mengatur batas usia pensiun guru hanya sampai 60 tahun, sementara dosen sebagaimana tercantum dalam Pasal 67 ayat (4) dapat mengabdi hingga usia 65 tahun.

Itu artinya usia pensiun guru lebih cepat lima tahun dibandingkan usia pensiun dosen.

"Saya melihat ada perlakuan yang berbeda, padahal guru dan dosen berada dalam rezim hukum yang sama, diakui negara melalui sertifikasi yang juga sama. Maka saya ajukan uji materi ini untuk menguji apakah ketentuan tersebut tidak diskriminatif dan konsisten dengan UUD 1945," kata Hartono, Jumat (20/6).

Hartono menyatakan permohonan ini tidak hanya menyangkut kepentingannya pribadi, tetapi mencerminkan kegelisahan moral dan emosional para guru lainnya, meski sebagian besar belum menyuarakan secara terbuka.

Hartono memahami bahwa kondisi birokrasi dan budaya berhati-hati di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat dukungan langsung sulit terlihat.

Dia juga mengungkapkan bahwa sempat berdiskusi dengan Ketua PGRI Jateng Muhdi. 

Dalam pertemuan itu, Muhdi menyampaikan bahwa PGRI pernah menggugat aturan pensiun guru, tetapi ditolak.

Perjuangan itu kemudian dialihkan lewat revisi UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) yang menetapkan usia pensiun guru menjadi 60 tahun. PGRI, kata Sri, menilai uji materi ulang sebagai tindakan yang "tidak elok", tetapi tetap menghargai langkah tersebut.

"Meski disebut tidak elok, bagi saya, guru dan dosen sama-sama pilar pendidikan. Mereka juga bersertifikat dan berperan strategis dalam membangun dunia pendidikan. Maka perlakuan hukum terhadap keduanya seharusnya setara," ujarnya.

Hartono menolak anggapan jenjang pendidikan menjadi pembeda yang sah antara guru dan dosen.

Menurutnya, guru PAUD hingga SMA tidak bisa serta-merta dianggap lebih rendah dibanding dosen di perguruan tinggi, begitu juga sebaliknya.

"Kalau saya diminta mengajar PAUD, saya angkat tangan. Dan saya rasa dosen pun belum tentu siap mengajar di SD atau PAUD. Jadi tidak adil kalau jenjang dijadikan dasar perbedaan perlakuan pensiun," ujarnya.

Dia menekankan ketentuan batas usia pensiun saat ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan menciptakan "kasta semu" antara guru dan dosen. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip meritokrasi dan kesetaraan yang dijamin oleh UUD 1945.

Di tengah kekurangan lebih dari 1,3 juta guru di jenjang dasar dan menengah, Sri menilai mempertahankan guru-guru berpengalaman hingga usia 65 tahun adalah langkah strategis.

Selain menjaga stabilitas tenaga pendidik, hal ini juga penting untuk pembinaan guru muda dan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Menurutnya, kebijakan ASN terbaru melalui UU Nomor 5 Tahun 2014 dan Permen PANRB Nomor 1 Tahun 2023 sebenarnya sudah memberi ruang bagi pejabat fungsional, termasuk guru dan dosen untuk pensiun di usia 65 tahun.

Karena itu, menurutnya revisi Pasal 30 ayat (4) UU Guru dan Dosen sangat mungkin dilakukan dan justru sejalan dengan arah reformasi kebijakan nasional.

Melalui permohonan ini, Sri memohon kepada MK untuk menilai batas usia pensiun guru yang lebih rendah bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan hak konstitusional warga negara, terutama dalam hak untuk bekerja, berkarya dan mengembangkan diri.

"Sebagai alternatif, saya juga berharap Mahkamah dapat memberikan interpretasi hukum yang mendukung kesamaan usia pensiun guru dan dosen, yaitu 65 tahun sebagai langkah progresif dalam rangka memperkuat fondasi pendidikan Indonesia," ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved