Readers Note
Darurat Kekerasan pada Anak
Anak tentu bukan orang dewasa mini yang dapat menjadi pelampiasan kekerasan. Masa depan mereka akan hancur
Darurat Kekerasan pada Anak
Oleh Paulus Mujiran | Fasilitator Kabupaten/Kota Layak Anak Provinsi Jawa Tengah
Di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah ada seorang guru madrasah baru-baru ini diduga melakukan kekerasan kepada anak didiknya. Kasus yang terjadi menjelang hari anak nasional ini berujung pada tuntutan orang tua agar membayar ganti rugi sebesar Rp 25 juta dan kemudian menjual sepeda motor.
Kasus-kasus serupa banyak terjadi di tempat lain baik dilaporkan atau tidak, konangan atau tidak. Menyebabkan fenomena gunung es kekerasan pada anak kian pekat. Maraknya kasus-kasus kekerasan pada anak menjadi bukti anak belum memperoleh perlindungan yang memadai.
Anak tentu bukan orang dewasa mini yang dapat menjadi pelampiasan kekerasan. Masa depan mereka akan hancur ketika kekerasan diterima secara bertubi-tubi di sepanjang hidupnya. Kekerasan dalam berbagai bentuknya masih mengancam kelangsungan hidup anak. Indonesia memang sudah memiliki Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak revisi dari UU sebelumnya No 23 Tahun 2002 namun implementasinya di lapangan masih belum maksimal.
Ironisnya, meski saat ini sudah dikembangkan sistem perlindungan anak yang mampu melindungi anak prakteknya belum mampu meretas segala bentuk kekerasan. Memang sudah ada upaya-upaya seperti inisiatif menjadikan kabupaten/kota layak anak namun implementasinya juga belum sesuai harapan. Kehendak meraih penghargaan lebih mengemuka ketimbang upaya-upaya konkret perlindungan dan pemenuhan hak anak. Tingkah laku anak yang kurang sejalan dengan orang dewasa cenderung direspon dengan cara-cara konvensional : kekerasan.
Produk Salah
Padahal produk pendidikan dengan kekerasan sudah nyata di depan mata: geng motor, kreak, klitih, punk, anak jalanan adalah produk salah dalam pendidikan keluarga yang melahirkan kekerasan. Ketidaktahuan orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak, terjerumus dalam pergaulan bebas dan persahabatan lingkungan yang tidak sesuai adalah awal dari segala bentuk kekerasan.
Di rumah anak-anak juga menyaksikan tontonan kekerasan yang diperagakan orang tua dalam tingkah laku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perilaku penuh kekerasan yang dilakukan kebanyakan orang tua dalam mendidik anak dampaknya adalah perilaku meniru dari anak-anak ini. Mereka berkembang sikap agresif dan brutal kepada orang lain.
Padahal kekerasan anak yang kian massif belakangan ini membutuhkan penanganan yang terkoordinir dengan melibatkan banyak stakeholder baik pemerintah dan masyarakat. Tak hanya pemerintah tetapi partisipasi aktif masyarakat juga sangat diperlukan. Ini semata-mata karena kekerasan pada anak berada dalam ranah yang sangat dekat dengan orang-orang terdekat korban seperti keluarga, guru, orang tua dan sanak saudara. Telaah membuktikan kekerasan dilakukan oleh orang terdekat korban yakni orang tua, guru, paman, adik, kakek maupun tetangga.
Upaya perlindungan anak yang cenderung bergerak sendiri secara sporadis yang tidak terkoordinir harus dikoreksi. Masing-masing bergerak sesuai respon kasus yang ada di masing-masing daerah. Tak heran yang terjadi kerap kecolongan. Kalau sudah ada kasus dan meledak menjadi besar semua pihak lantas merasa kebakaran jenggot. Selain itu upaya perlindungan anak juga sangat lemah dari sisi perencanaan dan anggaran.
Alokasi Anggaran
Anggaran dan dukungan kebijakan yang disediakan juga tidak memadai. Sebagian besar kabupaten/kota bahkan provinsi mempunyai anggaran yang minim terkait perlindungan anak. Maklum dinas ini juga bukan dinas basah yang menghasilkan keuntungan bagi daerah. Apalagi kegiatan ini nyaris tidak murah. Gerakan melindungi anak juga belum menjadi bagian dari upaya komunitas untuk bahu-membahu melindungi anak. Satu kasus kecil saja membutuhkan dana tidak sedikit dalam penyelesaian.
Masih belum efektifnya perlindungan anak karena itu tidak menjamin semua anak akan terlindungi dari aksi-aksi kekerasan. Padahal jika mau pemerintah mampu menggerakkan struktur masyarakat mulai dari tingkat RT, RW, dusun, kelurahan/desa sebagai basis pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak. Menciptakan RT, RW, desa/kelurahan ramah anak jauh lebih penting karena masyarakat di struktur paling rendahlah yang kerap berhadapan dengan kasus-kasus kekerasan pada anak.
Yang tidak kalah memiriskan masih ada anggapan kekerasan pada anak merupakan kejahatan biasa. Melakukan kekerasan pada anak dalam rangka pendidikan sering dianggap benar. Praktek disiplin anak dengan kekerasan kerap dipandang lumrah. Padahal dalam semua bentuk kekerasan pada anak terkandung adanya pelanggaran hak anak. Bentuk-bentuk kekerasan fisik seperti pemukulan pasti pernah diterima semua anak, begitu juga dengan kekerasan psikis seperti umpatan bernada kebencian, dan kekerasan seksual pernah diterima oleh anak.
Masih adanya kekerasan pada anak ditengarai karena lemahnya penyadaran di tingkat masyarakat apa yang dilakukan adalah kekerasan. Fungsi sosialisasi kerap kali mandek di lapangan. Padahal semanjak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989 kejahatan kepada anak merupakan kejahatan luar biasa. Namun upaya penegakan hukum kasus-kasus kekerasan pada anak juga cenderung lemah. Kekerasan pada anak ditangani kalau sudah menjadi kasus besar dan merusak masa depan anak.
Meski UU Perlindungan Anak sudah lebih dari tiga dekade bahkan sempat direvisi sosialisasi terhadapnya juga cenderung minim. Upaya menyadarkan masyarakat melalui UU nyaris jarang dilakukan. Tak heran mereka yang langsung berhubungan dengan anak seperti orang tua, guru, pengasuh, pekerja sosial, tokoh agama dan masyarakat belum banyak mengerti keberadaan UU ini dan apa konsekuensinya jika melakukan pelanggaran.
Tidak adanya sistem dan mekanisme perlindungan anak menyebabkan masyarakat tidak tahu bagaimana menangani kasus kekerasan pada anak. Kemana mereka harus melapor dan bagaimana laporan itu ditindaklanjuti kerap tidak diketahui masyarakat. Selain itu hukuman terhadap pelaku kekerasan pada anak tidak menjerakan. Pasal 82 UU No 35/2014 Perlindungan Anak hanya mengancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun.
Pemerintah harus memprakarsai upaya perlindungan anak sampai struktur terbawah RT dan RW. Kita menagih janji pemerintah yang akan menciptakan satgas perlindungan anak sampai ke level terbawah RT, RW, desa/kelurahan benar-benar dilaksanakan. Prakarsa baru memang harus ditumbuhkan di masyarakat. Sistem perlindungan anak adalah upaya pelibatan segenap warga masyarakat dalam melindungi anak.
Di hari anak nasional ini komitmen mewujudkan hak anak harus menjadi kenyataan dan gerakan yang memadai. Setidaknya perlu ada gerakan menyalakan lilin pencegahan ketimbang menyalahkan ketika kejadian sudah terjadi dan banyak korban. Semangat melindungi anak harus menjadi padu dan terkolaborasi untuk memperkuat ketahanan di tengah keluarga dan terbangunya sistem di level masyarakat dan pemerintah. Saatnya meminggirkan ego sektoral demi keselamatan anak-anak yang adalah milik bersama untuk masa depan bangsa ini. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.