Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Saatnya Pengasuhan Anak Masuk ke Jantung Perencanaan Daerah

Di Jawa Tengah saja, lebih dari 600 ribu buruh perempuan menghadapi tantangan serupa, belum termasuk jutaan pekerja informal seperti pedagang keliling

Editor: iswidodo
Tribunjateng/dok pribadi
Anang Ainur Roziqin | System Strengthening Unit Coordinator, Tanoto Foundation 

Saatnya Pengasuhan Anak Masuk ke Jantung Perencanaan Daerah

Oleh Anang Ainur Roziqin
System Strengthening Unit Coordinator, Tanoto Foundation

LEBIH dari 55,4 persen perempuan Indonesia kini menjadi bagian dari angkatan kerja, baik di sektor formal maupun informal (BPS, 2024). Ibu bekerja telah menjadi norma baru. Namun di balik capaian ini, tersembunyi kenyataan yang luput dari sorotan, yaitu jutaan anak usia 0-3 tahun diasuh oleh kakek-nenek atau pengasuh informal yang tak selalu memiliki kapasitas memadai untuk memberikan stimulasi optimal.
Per Agustus 2024, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 152,11 juta orang. Sebanyak 57,95 persen di antaranya (sekitar 83,8 juta) berada di sektor informal. Dari kelompok ini, lebih dari 8 juta adalah perempuan. Mereka bekerja tanpa perlindungan formal, fleksibilitas waktu, atau akses terhadap layanan pengasuhan anak yang layak. 
Di Jawa Tengah saja, lebih dari 600 ribu buruh perempuan menghadapi tantangan serupa, belum termasuk jutaan pekerja informal seperti pedagang keliling, pembantu rumah tangga, dan buruh harian lepas.

Pertumbuhan Anak

Situasi ini kian kompleks akibat perubahan struktur keluarga. Mayoritas keluarga Indonesia kini mengandalkan dua pencari nafkah. Data BPS (2023) menunjukkan hampir 58 persen rumah tangga di kawasan industri memiliki kedua orang tua yang bekerja. Namun, kebijakan pengasuhan anak masih berpijak pada asumsi lama: ibu selalu ada di rumah. Akibatnya, jutaan anak tumbuh dengan pengasuhan seadanya oleh pengganti yang belum tentu memahami pentingnya stimulasi dini.

Dampaknya bukan main-main. Kurangnya stimulasi pada usia dini dapat menimbulkan gangguan perkembangan bahasa, kognitif, emosional, sosial, hingga motorik. Bahkan, lebih dari 95 % kasus keterlambatan bicara pada anak disebabkan oleh kurangnya stimulasi verbal, bukan gangguan medis. Riskesdas (2018) mencatat sekitar 1 dari 3 anak usia dini di Indonesia mengalami keterlambatan perkembangan, tertinggi di kelompok anak yang minim stimulasi. Ini bukan hanya masalah keluarga. Ini ancaman sistemik terhadap kualitas generasi mendatang.

Menggeser Pengasuhan

Pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tak bisa lagi dijawab sebatas rumah tangga. Negara, terutama pemerintah daerah, harus hadir dan mengambil peran. Pengasuhan anak usia dini adalah investasi strategis pembangunan manusia, bukan sekadar urusan rumah tangga.

The Lancet Early Childhood Series (Britto et al., 2017) menunjukkan bahwa investasi dalam pengasuhan anak usia dini dapat meningkatkan produktivitas ekonomi hingga 13 % per tahun. Namun potensi ini akan hilang bila pengasuhan tak masuk dalam prioritas pembangunan daerah, khususnya dalam dokumen seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Sayangnya, penelaahan terhadap RPJMD di berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan bahwa isu pengasuhan hampir tak pernah disebut eksplisit. Bukan karena tak penting, tetapi karena masih dianggap urusan privat. Paradigma ini perlu diubah.

Kajian Munir et al. (2022) menegaskan bahwa hanya sedikit pemerintah daerah yang menjadikan pengasuhan dan stimulasi dini sebagai bagian dari strategi pembangunan SDM. Padahal, Perpres No. 60 Tahun 2013 tentang PAUD Holistik Integratif (PAUD HI) telah menggariskan bahwa pengasuhan dan stimulasi dini adalah salah satu pilar utama pembangunan anak usia dini.

RPJMD 2025-2029

RPJMD lima tahunan harus disusun dengan visi baru: berpihak pada kebutuhan nyata keluarga pekerja. Pendampingan yang dilakukan Tanoto Foundation pada Mei lalu melalui pendekatan cascading planning menunjukkan bahwa isu pengasuhan dapat dijabarkan secara konkret dari level visi hingga program operasional di masyarakat.

Pada tingkat strategis, pengasuhan bisa masuk melalui indikator kualitas SDM dan ketahanan keluarga, seperti jumlah desa dengan PAUD HI aktif atau cakupan layanan parenting. Indeks seperti I-Bangga, Indeks Perlindungan Anak, dan Kota Layak Anak juga dapat dimanfaatkan sebagai pengungkit kebijakan.

Di tingkat perangkat daerah, dinas seperti P3A, Dinsos, dan Dinas Kesehatan dapat menyisipkan misi perlindungan anak dan pemenuhan hak anak. Program pelatihan pengasuhan untuk ayah, serta peningkatan kapasitas kakek-nenek sebagai pengasuh alternatif, dapat menjadi bagian dari rencana aksi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved