Zat Berbahaya dalam Beras Opolsan Picu gagal Ginjal hingga Kanker, Tak Hilang saat Dicuci
Beras oplosan yang beredar di masyarakat sangat berbahaya karena dicampur dengan bahan kimia seperti pemutih, pewarna, bahkan plastik sintetis
Padahal menurut Sri Raharjo, proses mencuci atau memasak beras tidak sepenuhnya mampu menghilangkan kontaminan.
Ia menjelaskan bahwa hanya sebagian kecil zat yang larut dalam air yang bisa berkurang melalui pencucian.
Sementara itu, senyawa seperti formalin tetap bertahan meski dipanaskan dengan suhu tinggi.
“Pencucian mungkin mengurangi pewarna, tapi residu plastik atau klorin tetap tertinggal dan tidak terurai saat dimasak,” jelasnya.
Maka dari itu, Sri Raharjo menyarankan agar masyarakat melakukan pengujian sederhana di rumah untuk membedakan beras alami dan beras oplosan.
Indikasi fisik seperti warna yang terlalu putih, aroma kimia, dan reaksi terhadap air atau api bisa menjadi penanda awal.
“Kalau beras direndam air lalu mengambang atau air berubah warna, atau saat dibakar mengeluarkan bau plastik, maka patut dicurigai mengandung bahan berbahaya,” ujar Sri Raharjo.
Disisi lain, Sri Raharjo juga menyoroti persoalan lemahnya perlindungan hukum.
Meski istilah ‘beras oplosan’ tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, praktik mencampur beras dengan bahan non-pangan atau berkualitas rendah tetap melanggar ketentuan keamanan dan mutu pangan.
“Meskipun istilah beras oplosan tidak digunakan secara resmi, praktik ini dapat ditindak dengan dasar hukum dalam Undang-Undang Pangan karena merugikan konsumen,” ujarnya.
Ia menilai lemahnya pengawasan distribusi pangan, terutama di tingkat produsen dan pasar tradisional, membuka celah bagi praktik seperti ini untuk terus terjadi.
Tanpa intervensi kebijakan yang tegas dan menyeluruh, kasus semacam ini akan terus berulang, merugikan kesehatan publik sekaligus memperlihatkan rapuhnya sistem distribusi pangan nasional.
Untuk mencegah hal serupa, Sri Raharjo menekankan perlunya penguatan sistem pengawasan secara menyeluruh.
Ia juga mengusulkan adanya sertifikasi ketat di tingkat distributor, edukasi berkelanjutan kepada pedagang dan konsumen, serta pemanfaatan teknologi pendeteksi cepat di pasar.
“Sanksi hukum saja tidak cukup, edukasi dan teknologi deteksi harus jadi bagian dari strategi pengawasan pangan kita,” tegasnya.
Apa Itu Melanoma? Kanker Mata yang Diidap Novi Pitriona Istri Dokter Jerry Adli, Akibatkan Buta |
![]() |
---|
Pemkab Wonosobo dan RSUP dr Sardjito Perkuat Edukasi Penanganan Kanker Anak |
![]() |
---|
Eks-Presiden Brasil Derita Kanker Kulit setelah Dijatuhi Hukuman 27 Tahun Penjara |
![]() |
---|
Waspada Kanker Serviks Sejak Dini, Keputihan Bisa Jadi Alarm Gejala Awal |
![]() |
---|
Kasus Kanker Serviks Masih Tinggi, Ahli Imbau Masyarakat Lakukan Revaksinasi HPV |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.