Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong Melemahkan Hukum, Pakar Unnes: 'Bisa Jadi Impunitas Politik'

Rencana pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong menuai sorotan akademisi hukum.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: raka f pujangga
Repro Kompas.com
BEBAS: Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bebas pada Jumat, 1 Agustus 2025, malam. Keduanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Rencana pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong menuai sorotan dari kalangan akademisi hukum. 

Pakar Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes), Ali Masyhar Mursyid, menyebut langkah itu berpotensi melemahkan supremasi hukum jika digunakan secara 'transaksional' atau tidak sesuai dengan prinsip keadilan.

Menurut Ali, pemberian amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif Presiden yang sah secara konstitusi. 

Baca juga: Abolisi dan Amnesti dalam Politik Hukum Studi Kasus Hasto, dan Tom Lembong

Namun, penggunaan hak tersebut harus berdasarkan prinsip selektivitas, akuntabilitas, dan kepentingan umum yang sah, bukan untuk mengakomodasi kompromi politik.

“Kalau amnesti Hasto ini yang saya kritisi. Ini menunjukkan langkah yang zig-zag dari Presiden dalam penegakan hukum. Padahal selama ini beliau ingin hukum ditegakkan secara tuntas dan adil untuk semua,” ujar Ali kepada Tribun Jateng, Sabtu (3/8/2025).

Ali menjelaskan perbedaan mendasar antara amnesti dan abolisi. 

Abolisi diberikan saat proses hukum masih berjalan dan berfungsi untuk menghentikan perkara.

Amnesti diberikan setelah ada putusan pengadilan dan bersifat menghapus pidana yang sudah dijatuhkan.

Dalam konteks ini, Tom Lembong masih dalam proses hukum, sehingga secara teknis bisa masuk kategori abolisi. 

Namun, menurut Ali, lebih tepat bila proses hukum tetap dijalankan terlebih dahulu.

“Idealnya, kita tunggu dulu putusan pengadilannya, baru presiden mempertimbangkan apakah perlu abolisi. Ini demi menjaga integritas hukum,” katanya.

Sedangkan Hasto Kristiyanto disebut telah terlibat dalam perkara suap suatu tindak pidana yang tergolong sebagai extraordinary crime.

Dalam kasus-kasus seperti ini, pemberian amnesti dianggap tidak etis, karena bisa membuka ruang impunitas.

“Korupsi adalah tindak pidana berat. Sudah ada konsensus nasional bahwa koruptor tidak boleh diberi keringanan apapun, termasuk melalui amnesti. Kalau tetap diberikan, ini menjadi bentuk impunitas politik,” kata Ali.

Ia menambahkan, amnesti transaksional yakni amnesti yang diberikan karena pertimbangan kompromi atau barter politik bisa mencederai prinsip equality before the law, di mana semua warga negara seharusnya diperlakukan sama di depan hukum.

“Kalau ini bagian dari rekonsiliasi kekuasaan, bukan rekonsiliasi kebangsaan, maka perlu dikritisi. Negara hadir untuk menegakkan hukum, bukan untuk menyelamatkan elite,” tegasnya.

Ali menyebut bahwa dalam praktiknya, amnesti hanya layak diberikan atas dasar keadilan atau kemanusiaan, seperti dalam kasus Baiq Nuril, yang menjadi korban pelecehan dan justru dipidana karena menceritakan pengalamannya.

“Itu contoh penggunaan amnesti yang tepat. Dia korban, dan hukum tidak bisa memberi keadilan. Maka presiden hadir untuk menyelamatkan. Tapi beda ceritanya kalau amnesti diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Ali.

Baca juga: "Saya Tadinya Berdoa," Tangis Megawati Tak Terbendung di Kongres PDIP Karena Kehadiran Hasto

Ia pun mengingatkan bahwa dalam hukum, pasal-pasal terkait korupsi (misalnya dalam UU Tipikor dan UU Pemasyarakatan) memang menyebutkan adanya pembatasan terhadap pemberian remisi, pembebasan bersyarat, maupun keringanan hukum lain kepada koruptor. 

Maka, jika amnesti atau abolisi diberikan untuk pelaku korupsi, itu jelas menabrak semangat pemberantasan korupsi itu sendiri.

“Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal etika kekuasaan. Jangan sampai instrumen hukum dijadikan alat untuk melindungi kepentingan elite tertentu,” pungkasnya. (Rad)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved