Kiprah sebagai Konsultan Komunikasi dirintis Putut sejak 2003, setelah undur diri sebagai GM di Lippo Group. Ia mendirikan Veloxxe Consulting yang bergerak di bidang HRD & Komunikasi. Kepiawaiannya di bidang komunikasi membawanya masuk dalam lingkaran elite pemerintahan. Putut menjabat Penasihat Ahli Kepala BPMigas Bidang Komunikasi dari 2011 hingga lembaga itu dibubarkan pada November 2012.
Ia memiliki jaringan wartawan yang cukup luas dan merupakan kekuatan tersendiri dalam berkiprah sebagai konsultan komunikasi. Itu berkah latar belakang wartawan Kelompok Kompas Gramedia, mantan Ketua Paguyuban Wartawan Katolik (PWKI) periode 2004 – 2013.
Dengan slogan “Demi Indonesia Satu Tak Terbagi”, Putut Prabantoro dengan Gerakan Ekayastra Unmada menjadi Ketua Delegasi kunjungan pluralisme PBHMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) ke Vatikan pada 2011 yang diterima oleh Kardinal Jean Louis Tauran – Presiden Dewan Kepausan Departemen Dialog Antaragama.
Juni 2012, ia kembali menjadi Ketua Delegasi kunjungan PBHMI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan LISUMA (Lingkar Studi Mahasiswa Indonesia) ke Russia yang diterima oleh Konstantin Shubalov – Utusan Khusus Presiden Vladimir Putin, Rushan Abbyasov - Wakil Ketua Dewan Mufti Rusia (semacam MUI) dan pemerintah negara bagian Tartastan.
21 PEMIMPIN BANGSA
Dalam konteks mencari pemimpin bangsa, Putut mencemaskan hiruk-pikuk elite politik yang sedang sibuk membahas koalisi yang identik bag-bagi kekuasaan. Para calon presiden kesulitan mencari calon wakil presiden. Menurutnya, dari logika kepartaian, tidak ada orang di luar persetujuan partai dapat dicalonkan menjadi Capres atau Cawapres. Sehingga orang yang memiliki potensi memimpin negeri ini akhirnya tidak diperhitungkan.
Padahal untuk cawapres, ada terobosan yang bisa dilakukan oleh para pimpinan partai pemenang. Mengingat bahwa pilpres itu bukan berbasis partai tetapi lebih penekanan pada daya tarik personal Capres. Pada pilpres 2014, dalam kondisi tidak ada satu pun partai yang otomatis dapat mengajukan pasangan calon presiden – calon wakil presiden, karena tidak mencapai ambang batas yang diatur Undang-undang.
Sebenarnya ada banyak pimpinan bangsa popular ataupun tidak yang dapat dijadikan pertimbangan – meskipun pertimbangan itu sangat jauh dari hitung-hitungan atau logika kepartaian. Siapakah tokohnya?
Menurut Putut, terdapat banyak tokoh bangsa yang tersebar di pusat maupun daerah. Ia berhasil menyortir setidaknya 21 tokoh yang masuk daftar Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) sebagai calon wakil presiden.
Dasar yang digunakan adalah, pemilihan pemimpin bangsa tidak selalu menggunakan dikotomi militer dan nonmiliter, Jawa dan non Jawa, Islam dan Non Islam, Indonesia Barat atau Timur, Partai Koalisi dan non Koalisi. “Rakyat harus didorong untuk berani memunculkan tokoh nasional yang tidak popular tetapi integritasnya jelas,” kata Putut.
Berikut ini 21 tokoh sipil maupun militer, berada di Jakarta maupun pemimpin di daerah yang layak dipilih menjadi bagian pemimpin bangsa:
Laksdya TNI (Purn) Didik Heru Purnomo (Mantan Kasum TNI), Letjen TNI (Purn) Suryo Prabowo (Mantan Kasum TNI), Konjen Pol (Purn) Oegroseno (Mantan Wakapolri), Marsda TNI (Purn) Yunianto Sudirman Yogasara (Mantan DanseskoAU), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) [Wakil Gubernur DKI Jakarta], R Priyono (Mantan Kepala BPMigas), H. Abdul Kholiq Arif (Bupati Wonosobo, Jateng), Lukas Enembe (Gubernur Papua).
Kemudian Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung, Jabar), Teras Narang (Gubernur Kalteng), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Herman Sutrisno (Mantan Bupati Banjar, Jawa Barat), La Tinro La Tunrung (Bupati Enrekang, Sulsel), Yusuf Wally (Bupati Keerom, Papua), KH Maman Imanulhaq (Caleg terpilih/Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan, Majalengka), Bima Aria (Wali Kota Bogor, Jabar), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya, Jatim), Suyoto (Bupati Bojonegoro, Jatim), Hugua (Bupati Kepulauan Wakatobi, Sultra), Abdullah Azwar Anas (Bupati Bayuwangi, Jatim) dan Ignatius Jonan (Dirut PT KAI).
Lalu pertanyaannya siapa yang akan memilih mereka? Berkenankan elite partai politik memilih tokoh nonparpol menjadi pemimpin bangsa? (*)