FOCUS

Siasat sang Suman

Penulis: achiar m permana
Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Achiar Permana wartawan tribun jateng

Tajuk ditulis oleh wartawan Tribun Jateng, Achiar M Permana

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Arkian, semula Raden Haryo Suman seorang ksatria tampan. Kendati tidak seganteng Arjuna--Sang Lelananging Jagat, pangeran dari Kerajaan Plasajenar itu terbilang rupawan. Cakep, gagah, pangeran pula.

Dasar Suman, dia masih merasa kurang dengan posisi istimewanya. Dia mengincar kursi patih, orang kedua di Kerajaan Astinapura. Dia merasa pantas--teramat pantas--untuk menjadi patih Astina, mendampingi Prabu Pandu Dewanata.

"Apalagi aku adik Dewi Gendari, permaisuri Pangeran Destarastra, pangeran tertua Astina. Kurang apa coba?" pikir Suman, sembari mematut-matut diri di kaca kamarnya.

Maka, dia pun merancang sejumlah cara untuk menyingkirkan Gandamana, pangeran dari Kerajaan Pancala, yang kini menduduki kursi patih Astina. Kalau Gandamana tersingkir, pasti jalan Suwalaputra--demikian nama lain Suman--untuk menjadi patih akan amat lempang.

Jala keculasan pun ditebar. Siasat jahat Suman bertemu dengan situasi ketika terjadi perang antara Astina dan Pringgondani, yang ketika itu masih dalam genggaman para raksasa.
Gandamana, yang dikenal sakti mandraguna, menjadi pemimpin pasukan Astina untuk menyerbu Pringgondani. Misinya satu: membawa pulang kepala Prabu Tremboko, sang raja Pringgondani, ke Astina.

Sementara Sengkuni dan para kroninya mengikuti dari belakang. Alih-alih membantu Gandamana dan pasukan Astina, Sengkuni justru berkhianat. Dia malah menciptakan luweng, lubang jebakan, untuk memerangkap Gandamana.

Gandamana, yang tidak menyadari siasat culas Suman pun tercebur ke lubang itu. Saat itulah, Suman dan para pasukannya menimbuni Gandamana dengan batu.

Tidak hanya berhenti di situ, siasat jahat Suman berlanjut. Dia kembali ke Astina dan melapor ke Prabu Pandu. Apa bunyi laporannya?

"Gandamana ternyata bukan orang yang setia. Dia justru mengkhianati Paduka dan membela bangsat Trembaka," kata Suman.

Demi mendengar laporan itu, Prabu Pandu Dewanata pun naik pitam. Wajahnya merah padam. Bayangkan, patih yang sangat diandalkannya, ternyata justru mengkhianatinya.

Kemudian, dia mengangkat Suman sebagai patih sementara, sebagai pengganti Gandamana. Yes! Setapak demi setapak, langkah Suman menjadi orang kedua di Astina kian dekat.
"Kalau sang raja mangkat, pasti aku akan...," begitu pikir Suman.

Begitulah, Suman merasa langkahnya menyingkirkan Gandamana telah membawanya "on the right track" menuju RI-2, eh, Astina 2. Suman alpa, Gandamana bukan ksatria semenjana, yang segera menjemput ajal saat batu-batu besar menimbuninya.

Suman tidak menyadari, Gandamana adalah pemilik Ajian Bandung Bandawasa, yang sakti mandraguna.

Di dalam luweng, Gandamana menggeram. Dia merapal Ajian Bandung Bandawasa. Dalam sekali geraman, batu-batu yang menindihnya pun terlempar berantakan. Kemudian, dia merangkak keluar luweng jebakan.

Gandamana kemudian menuju Kerajaan Astina. Dalam penyamarannya di Astina, Gandamana mendapatkan informasi bahwa pembuat luweng jebakan tak lain adalah Haryo Suman, yang kini menjadi pejabat sementara patih Astina.

"Kurang ajar si Suman. Baj*ngan!" sumpah serapah berloncatan dari mulut Gandamana, yang memang berwatak berangasan.

Tanpa babibu, dia pun masuk ke istana, lalu menyeret Suman ke alun-alun. Tanpa ampun, Gandamana menghajar pangeran culas itu hingga berantakan. Ya, benar-benar berantakan.
Hilanglah Suman yang tampan, ganti menjadi sosok baru yang sulit dikenali. Sosok yang benar-benar buruk rupa: matanya serupa buah kedondong, hidungnya mungkal gerang serupa batu asah yang aus, kedua tangannya berlainan bentuk. Secara fisik, sengkuni juga digambarkan seperti orang sakit napas. Dengan bentuk baru itu, nama baru pun melekat padanya: Sengkuni!

Kalau saja Prabu Pandu Dewanata tidak mencegah, pasti Suman, eh Sengkuni, sudah menemui ajal. Tangan Gandamana sudah tergenggam untuk menimpakan Ajian Bandung Bandawasa, yang tidak tertahankan.

Kisah Suman dan kegigihannya untuk meraih kursi patih Astina menggelitik saya, ketika hari-hari ini banyak orang mengidam-idamkan hal serupa. Mengincar kursi orang kedua. Lebih-lebih orang kedua pendamping Presiden Joko Widodo, yang untuk sementara ini, menjadi calon terkuat untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, misalnya, sejak lama mematut-matut diri sebagai (calon) pendamping Jokowi. Dia rajin bersafari, dengan batik merah, berziarah ke makam-makam tokoh-tokoh nasionalis dan PDIP.

"PKB sudah punya sejarah dan chemistry untuk bekerja sama dengan Pak Jokowi. Siapa kader PKB yang paling pantas (menjadi pendamping Jokowi--Red)? Tentu saja saya...," kata Cak Imin, demikian sapaan akrab Muhaimin, seusai berziarah ke makam mantan Ketua MPR, Taufiq Kiemas, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (25/3/2018).

Ketua Umum DPP PPP, Romahurmuziy; Ketua Umum DPP PAN yang juga Ketua DPR, Zulkifli Hasan; mantan Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo; dan putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), juga berhasrat besar untuk menjadi pendamping Jokowi.

"Aja sembrana lo, Kang, madhakke wong karo Sengkuni. Nek dha orak trima, piye jal?" bisikan Dawir memperingatkan.

Bercita-cita (sekadar) jadi orang kedua, saya kira, sah-sah saja. Saya berharap, tidak ada yang menggunakan strategi culas Suman untuk meraihnya. "Jangan-jangan, Sampean dhewe sengkunine, Kang?" (tribunjateng/cetak/amp)

Berita Terkini