Keponakan Ki Enthus Mulai Jadi Dalang Kondang

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

WAYANG GOLEK - Ki Aditia Nugraha dalang wayang golek saat pentas di Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, Senin (29/7/2019). (Tribun Jateng / Indra Dwi Purnomo)

TRIBUNJATENG.COM -- Ketertarikan kepada dunia perwayangan membuat Aditia sedari kecil sering nonton wayang. Setelah besar Aditia kini menjadi dalang wayang kulit maupun wayang golek.

Semangat Aditia Nugraha (29) warga Comal, Kabupaten Pemalang, melestarikan kesenian Jawa melalui wayang patut diacungi jempol. Di tengah serbuan budaya asing, Aditia keponakan (alm) Ki Enthus Susmono ini menekuni dunia pewayangan, baik wayang kulit maupun wayang golek.

Adit suka wayang sejak kecil. Maklum, ayahnya bernama (alm) Ki Sudirman juga seorang dalang. Sedangkan pamannya (alm) Ki Enthus Susmono adalah dalang kondang baik wayang golek maupun wayang kulit.

"Saya sangat menyukai wayang. Apalagi, ayah saya almarhum Ki Sudirman dan paman saya almarhum Ki Enthus adalah seniman dan dalang, sehingga semangat saya untuk bermain wayang sejak kecil sudah ada. Entah itu wayang golek atau wayang kulit," kata Aditia Nugraha.

Tribun Jateng menemui Aditia seusai pentas wayangan di Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, Senin 29 Juli. Aditia menceritakan guna mematangkan bakatnya mengenai ilmu dalang ia sekolah di Surakarta, Jawa Tengah.

"Setelah lulus SMP, saya melanjutkan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Agar lebih matang ilmu pedalangan, setelah lulus SMK, saya kuliah di Insistut Seni Surakarta (ISI) jurusan pedalangan. Jadi, seandainya besok saya jadi dalang supaya tidak sebagai dalang otodidak tapi ada dasar ilmu pendidikan dan yang paling utama memperluas pertemanan dan srawung ilmu dalang," ujarnya.

Setelah lulus dari Surakarta, dirinya pulang ke Comal untuk menggerakkan orang-orang yang semangat mendalami budaya seni Jawa. Pertama menjadi dalang dan pentas di depan masyarakat pada saat kuliah semester dua.

"Saya pentas pertama di Kabupaten Batang, pada saat itu masih kuliah semester dua sekitar tahun 2007 dan saat ini saya sudah menggeluti profesi ini sekitar 12 tahun," ungkapnya.

Menurutnya wayang di Indonesia itu mempunyai banyak versi dan setiap kontrak juga berbeda tergantung daerah mana yang sedang mengadakan pertunjukan. Kemudian untuk dalang di Pantura Barat saat ini masih eksis sekira 24 orang, baik dari Batang hingga Pemalang.

"Versi wayang itu versi Surakarta, Kebumen, Banyumas, pesisir Pantura, dan banyak sekali. Kalau di Pantura barat dimulai sekitar pukul 21.00 WIB sampai 03.30 WIB baru selesai dan saya selalu memainkan wayang gaya Pantura. Sedangkan untuk cerita yang dimainkan biasanya tergantung yang mengadakan pertunjukan," jelasnya.

Diakuinya bahwa profesi dalang telah ditekuninya dan dijadikan sebagai ladang mencari nafkah sekaligus melestarikan budaya bangsa yaitu tradisi jawa. "Saya tidak bekerja di kantor ataupun di instansi yang lainnya. Profesi saya hanya dalang. Sedangkan untuk crewnya ada yang sebagian kerja sampingan karena ada yang pedagang dan petani," jelasnya.

Kemudian untuk menjaga kesehatan di saat padatnya pentas Adit mengungkapkan yang pertama tidak makan sembarangan, kedua selalu berolahraga, dan yang ketiga tidur secukupnya.

"Kalau menjaga suara itu, menghindari makanan yang bersantan, suka makan kencur agar suaranya tetap terjaga, selanjutnya rajin berolahraga, dan tidur secukupnya. Saya kuat duduk dan bicara dari malam hingga pagi hari tidak menggunakan obat ataupun jamu, yang terpenting hanya teratur makan dan berolahraga," jelasnya.

Adit menambahkan dalam satu bulan ia bisa pentas 8-10 kali mendalang. Setiap mendalang, ia meraih upah sekitar Rp 5 juta per malam. (Indra Dwi Purnomo)

Berita Terkini