Tak hanya itu, oknum penegak hukum tersebut tega menggunduli rambut dan memaksa untuk bertelanjang dada.
Setelah itu baru diperbolehkan untuk pulang.
“Kejadiannya baru Sabtu kemarin tanggal 18."
"Lalu juga kalau keluar malam bagi yang berprofesi sebagai PS juga banyak resikonya."
"Saat ini banyak sekali preman yang mengambil handphone atau tas berisi uang cash di daerah Kalibanteng."
"Sehingga benar-benar sulit untuk bekerja di tengah pandemi ini,” lanjutnya.
Sampai berita ini dibuat, Silvy mengatakan belum ada bantuan bagi komunitas waria Semarang dari pemerintah.
Baru ada bantuan dari lembaga swasta yang membagikan bantuan pada Komunitas Waria Semarang.
Sedangkan untuk mengakses bantuan dari pemerintah melalui program prakerja dan lain sebagainya dirasa kurang ramah bagi para waria.
“Sebagian teman waria itu tidak memiliki kartu identitas atau KTP, termasuk yang asli Semarang juga banyak yang tidak punya."
"Karena itu sulit untuk bisa mengakses bantuan dari pemerintah."
"Tidak ada KTP, tidak ada bantuan."
"Padahal masalah kartu identitas ini sudah ada sebelum pandemi Covid-19, karena pemerintah sendiri kurang ramah dengan gender atau ekspresi gender."
"Sehingga bagi sebagian besar teman waria memang kurang kesadaran untuk mengurus kartu identitas tersebut,” jelas Silvy.
Namun, untuk dapat terus menyambung hidup beberapa waria banting stir dengan berjualan online.