Liputan Khusus

Ini Rahasia Sumber Dana dan Strategi LGBT Perjuangkan Hak-haknya

Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Berjabat tangan dengan tangan pink

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Gerakan LGBT makin berkembang di Indonesia sejak peristiwa Mei 1998. Perkembangan gerakan itu juga diikuti oleh perbaikan organisasi yang menguat di tingkat nasional, pendanaan, serta penggunaan wacana HAM untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan di tingkat nasional.

Dikutip dari laporan United Nations Development Programme (UNDP) bersama United States Agency for International Development (USAID), bahwa pada tahun 2013 lalu, mereka pernah mengadakan dialog komunitas LGBT Nasional Indonesia di Bali.

Pesertanya berasal dari Cina, Filipina, Indonesia, Kamboja, Mongolia, Nepal, Thailand dan Vietnam. Dialog menghadirkan 71 peserta dari 49 lembaga yang mewakili keseluruhan keragaman organisasi LGBT di Indonesia, di samping wakil-wakil pemerintah pusat, lembaga hak asasi nasional, lembaga donor, perguruan tinggi, lembaga nonpemerintah untuk hak asasi manusia, organisasi bantuan hukum dan organisasi masyarakat madani, serta beberapa tokoh agama.

Diskusi yang bertajuk 'Being LGBT in Asia' ini, mendorong pemahaman akan hak asasi manusia yang dimiliki kelompok LGBT dan tentang stigma dan diskriminasi yang dihadapi mereka di dalam kawasan. Mobilisasi pria gay dan wanita lesbian terjadi pada tahun 1980-an, melalui penggunaan media cetak dan pembentukan kelompok-kelompok kecil di seluruh Indonesia. Mobilisasi ini semakin mendapatkan dorongan dengan maraknya HIV pada tahun 1990-an, termasuk pembentukan berbagai organisasi di lebih banyak lokasi.

Budi, satu di antara founder komunitas Sobat Semarang menilai selama ini tidak ada aturan yang kuat, yang melarang LGBT untuk menjadi aparatur negara. Hanya pasal-pasal karet, yang cenderung membuat orang tersebut terpojokkan.

"Pasal yang disangkakan rata-rata karena perbuatan tidak etis. Padahal tidak selalu LGBT melakukan tindakan-tindakan yang menyangkut kesusilaan. Karena mereka tahu posisi di masyarakat seperti apa," kata Budi kepada Tribunjateng.com.

Diterangkannya, komunitas Sobat Semarang yang menjadi naungan para LGBT sekarang sudah punya anggota sekitar 5 ribu pengguna Facebook. Dari ribuan anggota itu ada LGBT berprofesi sebagai aparatur negara, bahkan tokoh agama juga ada. "Karena mereka takut mengungkapkan jati dirinya, maka mereka lebih memilih untuk diam. Kalaupun ada yang tahu, LGBT bersikap cuek," jelas Budi.

Komunitas Sobat Semarang menjadi wadah bagi para LGBT menyampaikan pemikiran masing-masing, jadi support sistem bagi LGBT yang belum diterima masyarakat. Mereka sering diskusi termasuk berbagi edukasi tentang kesehatan. Pembahasan diskusi rata-rata terkait diskriminasi di lingkungan keluarga, rumah, sekolah, maupun lingkungan kerja.

Direktur Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Indonesia, Riska Carolina menanggapi putusan MA terkait oknum prajurit TNI Polri yang dianggap LGBT. Riska menilai bahwa kata penyimpangan bukanlah kata yang tepat. Karena ada perbedaan antara perilaku seksual dan orientasi seksual seseorang. Riska menyebut LGBT dimaknai sebagai bagian dari keragaman orientasi seksual dan identitas gender. (tim)

Berita Terkini