TRIBUNJATENG.COM, TEGAL - Tentu tidak mudah membayangkan pekerjaan petugas pemulasaran jenazah di masa pandemi virus corona atau Covid-19.
Melakukan kontak langsung dengan jenazah yang terkonfirmasi Covid-19, berjam-jam menggunakan baju hazmat, hingga terkadang mendapat umpatan dari masyarakat.
Mereka ada di garda depan dalam mengurus jenazah dengan status positif atau suspek Covid-19.
Mulai dari membersihkan jenazah sesuai syariat agama, mengafani, hingga menurunkan peti jenazah ke liang lahad.
Sekuat apapun, mereka tetap manusia biasa. Mereka juga kelelahan, punya kekhawatiran terpapar Covid-19, dan memiliki keluarga yang menunggu di rumah.
Meski demikian mereka tetap siaga selama 24 jam untuk mengurus jenazah terkonfirmasi Covid-19.
Hal itu seperti yang dilakukan Trilaksito (54) dan enam petugas pemulasaran jenazah lainnya di RSUD Kardinah Kota Tegal.
Tri, sapaan akrabnya mengatakan, menjadi petugas pemulasaran jenazah di masa pandemi Covid-19 harus siaga selama 24 jam. Ia dan keenam petugas lainnya bahkan berkomitmen agar handphone selalu aktif.
Panggilan tugas pada malam dan dini hari sudah sering terjadi.
Seperti tiga hari yang lalu, pada Senin (9/11/2020), mereka mendapatkan panggilan pukul 02.00 WIB.
Tidak disangka ternyata ada delapan jenazah yang harus diurus hingga pukul 23.00.
Kemudian esok harinya mendapat panggilan lagi untuk mengurus dua jenazah.
Tri mengatakan, sudah lebih dari 60 jenazah yang mereka urus selama pandemi Covid-19.
“Sejak April 2020, kami tidak bisa kemana-mana. Harus siap menerima panggilan dan hp on terus. Jam berapapun karena kami punya tenaga yang terbatas, ya semua berangkat,” kata Tri yang sudah bekerja sebagai petugas pemulasaran jenazah selama delapan tahun, kepada tribunjateng.com, Kamis (12/112020).
Tri menjelaskan, pekerjaan sebagai petugas pemulasaran jenazah di masa pandemi Covid-19 begitu kompleks. Mulai dari mengevakuasi di ruang jenazah, membersihkan, mengafani, hingga memasukan dalam peti.
Ia mengatakan proses tersebut membutuhkan waktu satu jam.
Setelah itu petugas masih harus mengantarkan peti jenazah ke lokasi pemakaman.
Tri mengatakan, selama melaksanakan tugas tersebut petugas tetap harus menggunakan baju hazmat. Baik saat mengevakuasi jenezah maupun saat di dalam ambulans mengantar jenazah.
Petugas harus memastikan baju hazmat terpakai dengan benar agar terhindar dari potensi terpapar Covid-19.
“Kami juga tidak boleh minum saat memakai baju hazmat. Itu sudah menjadi standar proteksi. Kami nahan minum busa sampai dua jam. Padahal semakin jauh perjalanan maka resiko dehidrasi semakin besar,” jelas Tri yang juga menjadi kepala petugas pemulasaran jenazah RSUD Kardinah Kota Tegal.
Khawatirkan Keluarga
Tri bercerita, kekhawatiran terbesar petugas pemulasaran jenazah adalah keluarga di rumah. Meraka selalu khawatir saat akan pulang ke rumah dan bertemu keluarga.
Hal itu dirasakan oleh semua petugas.
Ia mengatakan, pertama kali menangani jenazah yang meninggal karena Covid-19, semua petugas tidak ada yang berani pulang ke rumah.
Mereka semua berdiam dan istirahat di rumah sakit dengan menggelar tikar.
Menurutnya petugas khawatir jika mereka pulang justru membawa virus.
“Itu saat pertama kali bertugas. Sehari, teman-teman gelar keloso di kantor. Tidak ada yang pulang karena rasa takut punya keluarga. Lalu ada juga yang keluarganya di rumah memang keberatan suaminya pulang,” katanya.
Melihat adanya kekhawatiran itu, Tri kemudian berkomunikasi dengan Gugus Tugas Covid-19 dan direktur RSUD Kardinah Kota Tegal.
Pihak rumah sakit kemudian mengadakan rapid test untuk semua petugas pemulasan jenazah.
Ia bersyukur hasilnya negatif dan semua petugas tidak lagi memiliki kekhawatiran berlebih.
Selain itu, dari ahli medis menyampaikan tidak perlu ada yang dikhawatirkan selagi tidak ada tanda klinis dan gejala Covid-19.
“Hingga saat ini kami sepertinya sudah terbiasa. Yang perlu kami perhatikan agar menenangkan diri secara emosional. Lalu tiap selesai tugas kami mandi dan ganti baju, kemudian baru pulang ke rumah masing-masing,” ujarnya.
Tri mengatakan, sebagai petugas yang memiliki resiko tinggi terpapar Covid-19, ia benar-benar menerapkan secara ketat protokol kesehatan.
Ia pun mengimbau keluarganya untuk menerapkan itu. Mulai dari memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Tri juga meminta keluarganya untuk sedikit menjaga jarak.
“Alhamdulillah keluarga saya tidak begitu khawatir. Karena ini sudah menjadi konsekuensi dari pekerjaan saya. Yang terpenting saya dan keluarga sudah menerapkan protokol kesehatan secara banar,” jelasnya.
Tri bersyukur, pihak rumah sakit memberikan keringanan petugas pemulasaran jenazah dengan menjalin kerjasama dengan BPBD Kota Tegal.
Kerjasama itu meringankan beban pekerjaan petugas.
Petugas pemulasaran hanya mengevakuasi dan membersihkan hingga masuk ke dalam peti.
Kemudian petugas dari BPBD Kota Tegal mengantarkan peti jenazah ke pemakaman hingga menurunkannya ke liang lahad.
“Alhamdulillah Oktober akhir pihak rumah sakit menjalin MoU dengan BPBD Kota Tegal. Kami mengevakuasi sampai pemulasaran. Untuk petugas BPBD mengantarkan jenazah sampai ke pemakaman,” katanya.
Berharap Pengertian Masyarakat
Selama mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman, Tri kerap mengalami kesulitan dalam memahamkan masyarakat tentang standar prosedur pemakaman Covid-19.
Ia mengatakan, di Kota Tegal sendiri tidak ada penolakan secara ekstrem.
Beberapa masyarakat hanya menanyakan mengapa keluarganya dimakamkan dengan prosedur Covid-19.
Untuk penolakan secara fisik tidak pernah dialami, hanya penolakan secara lisan melalui umpatan-umpatan.
Tri berharap, masyarakat bisa memahami standar pemakaman yang diterapkan untuk jenazah dengan status positif atau suspek Covid-19.
Hal itu menjadi upaya agar semua masyarakat aman terhindar dari Covid-19.
“Mereka khawatir keluarganya tidak dilakukan secara manusiawi atau secara Islam. itu yang sering terjadi saat kita mengedukasi keluarga. Sehingga kami butuh waktu ekstra untuk memberikan pemahaman,” ungkapnya. (fba)