Padahal, dalam aturan Pilkada misalnya, juga sudah sangat jelas terkait protokol kesehatan. Namun tetap saja ada paslon yang melanggar atau mengabaikannya.
Lagi-lagi, ini bukan sekadar menerbitkan aturan, lalu memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar. Ini lebih menyoal sejauhmana indra perasaan yang dimiliki tiap kelompok maupun individu.
Toh, seolah karena telah kebal sanksi, aturan pun bisa dilanggar, apalagi sampai berupaya ‘cuci tangan’ agar terhindar dari hukuman, maupun sekadar berucap minta maaf. Yang semestinya menjadi cermin masyarakat.
Tak salah jika masyarakat mengartikan aturan hanya tajam ke bawah, tumpul untuk yang di atas. Karenanya, kini disadari atau tidak, masyarakat di tingkat bawah pun ikut serta abai aturan, termasuk soal protokol kesehatan.
Ketika kepekaan rasa berangsur memudar, yakinlah, pandemi ini tak akan berhenti. Aturan sekeras apapun, tetap ada yang melanggarnya.
Dan sebentar lagi, tak lebih dari sebulan, bakal ada pemungutan suara. Jangan sampai kembali pula pesta demokrasi itu rusak karena hilang indra perasaannya.
Berandai-andai saja, bisakah jika ada lonjakan kasus karena kerumuman massa, si calon pemenang dibatalkan kemenangannya dalam Pilkada Serentak 2020? (*)