Opini

Dampak La Nina pada Usaha Tani

Penulis: -
Editor: moh anhar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Opini Tribun Jateng 27 Januari 2021

TRIBUNJATENG.COM - Menurut BMKG, fenomena iklim La Nina diperkirakan akan datang bersamaan dengan puncak musim hujan pada Desember 2020 dan Januari 2021 yang menyebabkan kenaikan curah hujan mencapai lebih dari 300 mm/bulan. Bahkan sampai bulan Maret 2021 masih akan ada di musim hujan.

Dampak curah hujan mengakibatkan terjadinya peningkatan kelembaban serta peningkatan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) terutama penyakit. Pasalnya, intensitas penyinaran turun sehingga berakibat terhadap menurunnya kualitas produksi. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian bagi petani bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen khususnya petani tanaman padi.

Bagi sektor pertanian, hal tersebut menyebabkan peningkatan intensitas serangan hama dan penyakit yang akan mempengaruhi pendapatan usahatani. Antisipasi dampak La Nina terhadap produksi pertanian dilakukan dengan upaya mitigasi dikarenakan produksi pertanian baru masuk musim tanam ke satu (MT I) periode Oktober 2020-Maret 2021. Penggunaan aplikasi yang berfungsi sebagai early warning system dilakukan dengan memantau semua informasi yang ada di BMKG. 

Di sisi budidaya, penggunaan benih tahan genangan seperti inpara 1 sampai 10, inpari 29, inpari 30, ciherang sub 1, inpari 42 agritan, dan varietas unggul lokal yang sudah teruji.

Petani dengan usaha taninya merupakan profesi yang selalu bersinggungan dengan bencana. Banyak kejadian seperti musim hujan yang menyebabkan banjir dan tanah longsor, hingga datangnya hama penyakit tanaman yang tidak terduga menyebabkan usaha pertanian gagal total. Kerugian itu dihitung berdasarkan biaya tanam, perawatan, dan pemupukan. Potensi banjir dan hama penyakit juga menyebabkan produksi komoditas pertanian menurun.

Kegagalan panen akan menimbulkan kerugian bagi petani khususnya terhadap modal yang telah diinvestasikan dalam budidaya. Keterbatasan kemampuan sebagian besar petani dalam penyediaan modal mengharuskan petani untuk mencari sumber permodalan lain agar dapat melanjutkan usaha selanjutnya. Akibatnya, petani akan menanggung beban utang yang tergolong besar dan cenderung menyulitkan petani dalam membayar kembali modal yang telah dipinjam.

Persoalan ketidakpastian dalam usaha tani yang dijalankan petani baik soal risiko gagal panen, serangan hama penyakit, harga jatuh dan kepemilikan lahan. Kondisi lingkungan petani yang terjadi saat ini seperti meningkatnya perubahan iklim, kerentanan bencana alam, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang kurang berpihak kepada petani membuat petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan.

Informasi mengenai prediksi pola hujan sangat penting bagi petani. Melalui informasi yang akurat, petani dapat merencanakan penanaman dengan lebih baik dan mencegah gagal panen akibat perubahan iklim.

Asuransi bagi petani

Upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan bagi tanaman padi yang gagal panen atau puso dengan menggelontorkan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Dengan membayar premi Rp 36 ribu per hektare per musim, petani yang sawahnya terkena bencana banjir dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dapat klaim (ganti) Rp 6 juta per hektare.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemerintah hingga 11 November 2020 telah menggelontorkan dana sekitar Rp 128,53 miliar untuk membayar premi asuransi pertanian dan peternakan yaitu Rp. 116,3 miliar untuk 807,8 ribu hektare sawah padi yang masuk ke dalam asuransi petani dan Rp 12,23 miliar untuk 76,46 ribu ekor sapi untuk peternak.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan amanat kepada negara bahwa pemerintah harus memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada petani secara terencana, terarah, dan berkelanjutan. Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani dalam bentuk asuransi pertanian”.

Pemberian jaminan asuransi kepada petani yang mengalami kerugian akibat terkena bencana alam dilakukan dengan membentuk semacam asuransi bidang pertanian (agriculture insurance). Asuransi sektor pertanian diyakini sangat penting mengingat pertanggungan risiko oleh asuransi sangat bermanfaat bagi petani. Pasalnya asuransi ini mampu menanggung risiko dari sisi ekonomi dan psikologis. Dengan asuransi pula, petani akan lebih percaya diri dan segera bangkit membenahi lahan pertaniannya bila terkena bencana agar bisa ditanami kembali dan tentunya dari perputaran roda ekonomi pun tetap jalan.

Memang terdapat tantangan dalam implementasi asuransi bagi petani, yaitu segi biaya, segi organisasi, segi teknologi, dan segi psikologi petani. Sistem ini juga harus dilakukan dengan kerja sama antara pemerintah tingkat pusat, Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, Gapoktan/ kelompok tani dan juga petani.

Belajar dari pengalaman negara lain, melalui asuransi pertanian ini, petani tidak perlu pusing mengenai nasib lahannya dan risiko lain yang kemungkinan dihadapi. Di negara ASEAN seperti Vietnam, asuransi pertanian telah dimulai tahun 1982. Bahkan pada tahun 2010 hampir seluruh areal pertanian telah dicover asuransi. Awalnya pada tahun 2010 pemerintah Vietnam tidak memberikan subsidi premi bagi petani, tetapi pada tahun 2012 pemerintah memberikan subsidi premi dari 50%-100% tergantung kondisi dan tipe petani. Untuk petani miskin dan buruh tani yang sangat membutuhkan bantuan, subsidi premi bisa mencapai 100%.

Halaman
12

Berita Terkini