Berita Semarang

Anindha Gauri: Tuna Netra Rawan Jadi Korban Pelecehan Seksual di BRT Trans Semarang

Penulis: iwan Arifianto
Editor: galih permadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kondisi Halte Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang di Jalan Pemuda Kota Semarang, Senin (22/3/2021).

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -   Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang masih menjadi tempat menakutkan bagi para disabilitas tuna netra.

Data yang dihimpun Sammi Institut ada 10 laporan tuna netra menjadi korban pelecehan seksual saat menggunakan fasilitas transportasi umum tersebut. 

Bendhara Sammi Institut Semarang, Anindha Gauri Naraswari mengatakan, korban mengalami pelecehan seksual beraneka ragam mulai dicium, dipeluk, dan dipegang di tangan atau paha baik saat  di halte maupun saat di dalam bus.

Bahkan pernah ada yang korban yang dihipnotis saat menunggu di halte lalu diboncengkan ke sebuah tempat untuk dirampas uang dan barang berharga lainnya.

Korban juga sempat digerayangi, beruntung korban lekas sadar dan berontak melawan.

"Kekurangan para korban ketika hendak melapor  ke Polisi atau pihak lainnya kebingungan. 

Mereka tak mampu memberikan keterangan karena tak mengetahui ciri-ciri pelaku," terangnya kepada Tribunjateng.com. 

Dia menyebut, para tuna netra di Kota Semarang yang  memiliki aktivitas di luar rumah seperti kuliah dan bekerja mayoritas memanfaatkan layanan transportasi umum seperti BRT lantaran murah meriah.

Namun mereka harus ekstra hati-hati untuk menghindari pelecehan seksual.

"Orang normal mungkin menganggap kasus ini kecil namun kalau dirunut tentu adalah persoalan besar.

Andai ada kesempatan lebih bisa saja menjurus ke perkosaan," terangnya.

Dia pun berpesan, usahakan  para disabilitas netra untuk memfoto  tempat sekitar  saat di halte kondisi sepi.

Hal ini paling  tidak bisa menjadi petunjuk saat ada kejadian tak diinginkan.

Lalu hindari halte bus yang sepi orang untuk menghindari pelecehan dan tindak kriminal lainnya.

"Saat di dalam bus usahakan dekat dengan sopir agar tak ada kesempatan pelaku pelecehan beraksi," pesannya.

Dia mengungkapkan, para disabilitas menjadi kelompok rentan.

Catatannya, pada tahun 2017 di Kota Semarang telah terjadi kekerasan seksual yang memakan 18 korban.

Tahun 2018 ada 23 korban.

Tahun 2019 meningkat 27 korban.

Pelecehan tersebut didapat dari berbagai lokasi mulai dari lembaga pendidikan  dan fasilitas umum seperti halte.

"Untuk tahun 2020 belum kami data," terangnya.

Merujuk data tersebut, ada kenaikan tren kasus kekerasan seksual terhadap para disabilitas selama tiga tahun.

Dia meyakini angka itu merupakan fenomena gunung es yang masih banyak korban tak berani melaporkan.

"Selain itu, kendala utama dari kasus pelecehan bagi disabilitas dianggap sebagai aib sehingga pihak keluarga lebih menyimpan kasus itu alih-alih melaporkan ke pihak terkait," terangnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Operasional BLU UPTD Trans Semarang, Stephanus Kusdiyarto menuturkan, data aduan terkait tindak kriminal termasuk pelecehan seksual terjadi di tahun 2017.

Dia tak menyebut detail jumlah kasusnya. 

Pihaknya mencatat, untuk tahun 2018 ada empat kasus masing-masing dua di bus dan dua di halte. 

Empat kasus tersebut terdiri dari satu pelecehan seksual dan tiga pencopetan. 

"BRT Trans Semarang mencatat tidak ada aksi kriminalitas di sepanjang tahun 2019 hingga 2020," terangnya. 

Dia menambahkan, melakukan berbagai upaya pencegahan tindak kriminalitas  dan aksi kekerasan seksual berupa menerjunkan tim lintas yang berpakaian bebas mengawasi pada saat jam ramai. 

Selain itu, para petugas mulai dari petugas pengawas armada, petugas tiketing, petugas timer akan  mengingatkan ke penumpang untuk barang bawaan ditaruh di depan badan.

"Semisal ada penumpang mengalami tindak kriminalitas segera menyampaikan ke petugas, baik yang ada dalam armada maupun di halte."

"Agar petugas bisa meneruskan ke ruang kontrol, dan selanjutnya ruang kontrol menindaklanjuti pada petugas-petugas keamanan," imbuhnya. (Iwn)

Berita Terkini