oleh Mukhlis Mustofa, SPd, MPd.
Dosen Unisri dan Mahasiswa S3 Pendidikan IPS Unnes
DIUMUMKANNYA hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada 14 Juni 2021 lalu memberikan beragam asa penyikapan terkait didalamnya. Suka duka sang peserta menghadapi hasil seleksi di beragam media ini menjadi ekses pengumuman menjadi konsekuensi sebuah seleksi.
Munculnya euforia ini menjadikan pengumumen SBMPTN beragam riak euforia hubungan edukasi dengan realita kekinian. Di balik euforia kelulusan tersebut memunculkan asa konvensional namun berlaku aktual yakni bagaimanakah menyikapi kompetensi lulusan SMA/K meraih asa masa depannya.
Persepsi ini menarik mengingat masa SMA menjadi masa cari jatidiri generasi muda dengan penuh gejolak dan berimplikasi luas bagi semua pihak terkait didalamnya. Masa usia SMA hakikatnya sebagai penyiapan cerdas generasi didalamnya untuk meraih keberhasilan masa mendatang dipersepsikan sedang mengalami masa kegalauan luar biasa.
Karakteristik mengikuti arus pesohor terlebih teman sebaya menjadikan kegalauan ini sedemikian berwarna. Penyikapan generasi galau ini selayaknya lebih mengedapankan kebijaksaan untuk pengatasannya.
Saya meyakini bagi para peserta SBMPTN ini antisipasi manakala harapan tidak diperoleh menjadi sebuah kemahfuman. Perguruan tinggi negeri alternatif perguruan tinggi swasta menjadi solusi konkrit manakala keinginan ini belum sepenuhnya terlaksana.
Persiapan jadi mahasiswa
Pemilihan melanjutkan pendidikan tinggi merupakan hak asasi siswa negeri ini namun permasalahan yang terjadi saat ini bagaimanakah mempersiapkan diri sebagai mahasiswa di tengah carut marut permasalahan selama pandemi ini.
Dalam tulisan ini saya menggeneralisiasikan sang siswa SMA melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi namun lebih menyorori bagaimanakah pelaksanaan edukasi selama ini dengan keberlanjutan pendidikan.
Peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial menyikapi kondisi kekinian sedemikian naif terasakan. Menyikapi pemberitaan di Kompas 14 Juni 2021 ini kemafuman ini menjadi kian terasa. Teramat naif manakala menjumpai program studi favorit dengan parameter peningkatan peminatan memasukinya.
Hal ini sebenarnya sebuah kontradiksi dimana sang menteri dalam beberapa cuitan di media sosial menyatakan gelar tidak memiliki konsekuensi namun ternyata calon mahasiswa memburu jurusan kenyamanan.
Iklim pendidikan belum sepenuhnya memihak mengingat struktur vokasi di pendidikan tinggi tidak sepenuhnya terbangun dan terasa sangat pragmatis
Penyikapan kompetensi kekinian lulusan SMA memerlukan perhatian tersendiri mengingat kesadaran menseriusinya masih jauh dari angan.
Pilihan lulusan SMA tidak jarang justru menambah beban pembelajaran di masa mendatang. Pilihan untuk melanjutkan pendidikan atau merintis karir pekerjaan diposisikan sebatas rutinas bukanlah mewujudkan visi besar dan cita-cita besar.