Forum Mahasiswa

Forum Mahasiswa Dina Anifatul Arifana : Mewaspadai Konflik Sosial Kala Pandemi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dokumentasi proses pemakaman jenazah pasien Covid-19 di Kecamatan Jumantono Kabupaten Karanganyar.

Oleh: Dina Anifatul Arifana

Mahasiswa Pascasarjana Undip

SEJAK Juni 2021 ini, angka covid-19 di Indonesia terus naik. Berkaitan dengan angka covid-19 yang meningkat, di antara masyarakat Indonesia perlu waspada satu sama lain, termasuk waspada untuk tetap menjaga kesehatan dan menghindari konflik sosial.

Konflik sosial sendiri merupakan hubungan antara individu yang memiliki tujuan bertentangan, sehingga bisa menghambat interaksi sosial.

Mengutip dari jurnal karya Suwandi dan Agus (2013) dijelaskan bahwa terdapat beberapa prasyarat yang memungkinkan konflik sosial bisa terjadi.

Mulai dari terdapat isu kritikal yang menjadi perhatian bersama dari pihak berbeda kepentingan, Inkompatibilitas harapan antara pihak berkepentingan terhadap objek perhatian, gosip/fitnah sebagai tahap inisiasi konflik sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju wujud real di dunia nyata, terdapat kompetisi dan ketegangan psikososial, masa kematangan untuk perpecahan, clash yang disertai dengan kekerasan.

Konflik sosial di tengah pandemi, perlu diwaspadai. Hal ini karena, akan semakin membuat Indonesia menjadi carut marut dan mengancam integrasi negara ini. Konflik sosial bisa saja terjadi di Indonesia, jika terdapat pemicunya.

Misalnya, pandemi yang tak kunjung usai, sekolah tak kunjung tatap muka, aktifitas masyarakat masih terbatas, apalagi angka kemiskinan di Indonesia per September 2020 mencapai 10,19 persen, meningkat dari tahun sebelumnya.

Selain itu, kehadiran media sosial dan online yang menjadi medium penyebaran informasi, bisa menggiring opini publik dalam sekejap mata. Media online bisa mempengaruhi persepsi masyarakat dalam hal apapun.

Apalagi di tengah pandemi, masyarakat harus dihadapakan dengan internet dalam kesehariannya, untuk belajar, bekerja, hingga berjualan. Sebab itu, media online di sini lain bisa menjadi alat untuk memicu konflik sosial atau melakukan propaganda, entah dengan tujuan baik atau sebaliknya.

Apalagi salah satu karakteristik media ialah share. Dalam buku karangan Rulli Nasrullah, berjudul Media Sosial; Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi (2017). Menjelaskan bahwa Karakter penyebaran pada medsos, memperlihatkan bahwa pengguna, tidak hanya megonsumsi atau memproduksi konten, tetapi juga bisa mendistribusikannya kepada khalayak lain (dikembangkan oleh pengguna). Sebab itu, saat terdapat isu baru di media sosial, bisa sampai ke khalayak dengan cepat.

Dampak

Akhir-akhir ini dunia maya sedang ramai dengan aksi yang dilakukan oleh BEM UI, mereka memberikan kritik terhadap Presiden Joko Widodo, bahkan mereka memberikan julukan “The King of Lip Service” disertai dengan gambar Presiden Jokowi memakai mahkota raja.

Alasan mereka memberikan kritik tentu bukan sekedar untuk bergaya atau menunjukkan kegagahan, melainkan sebagai bentuk kritik atas kinerja pemerintahan Indonesia. Kritik yang dilontarkan oleh para mahasiswa ini, tentu mendapat kecaman dan dukungan dari berbagai pihak.

Sebagian menganggap tidak sopan, sebagian menganggap ini sebagai pengingat bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Kritik atas presiden juga dilontarkan oleh BEM UGM. Sama halnya dengan BEM UI, mereka memberikan kritik bahwa Era Presiden Jokowi sebagai orde (paling) baru. Meskipun kritik yang dilakukan oleh BEM UGM tidak seviral yang dilontarkan BEM UI.

Namun dari kesemua itu, perlu kita ketahui bahwa salah satu fungsi mahasiswa ialah agent of control. Artinya, sikap kritis mahasiswa atas kebijakan pemerintah justru memperlihatkan bahwa mahasiswa masih menjalankan tugasnya, tidak dalam dunia akademik saja tetapi juga sosial-masyarakat.

Terlepas dari segala bentuk kontroversi mengenai kritik terhadap Presiden Jokowi. Viralnya, kritik tersebut di media sosial tentu bisa memberikan dampak luas ke publik, apalagi isu ini sempat menjadi trending topic di twitter serta pemberitaan nasional.

Termasuk bisa menjadi penyebab konflik sosial di tengah pandemi, jika kita tidak memahami dan menanggapi isu tersebut dengan bijak.

Pertama, bisa menimbulkan polarisasi masyarakat. Saat kritik tersebut mencuat di media sosial. Polarisasi ini dimulai. Dimana pembahasan isu ini menjadi kemana-mana dan dikaitkan dengan berbagai hal, termasuk keyakinan beragama, privasi pribadi dan pilihan politik seseorang.

Akhirnya esensi dari isu tersebut lenyap dengan sendirinya berganti dengan konflik antar-netizen di media sosial.

Kedua, timbul hoaks dan ujaran kebencian. Barangkali kebiasaan melakukan ujaran kebencian bagi netizen merupakan hal lumrah. Tapi tentunya tidak bisa diamini. Jika mengingat pilpres 2019 lalu. Kita akan melihat bagaimana hoaks dan ujaran kebencian meramaikan dunia maya.

Sama halnya dengan isu ini. Jika masing-masing netizen melakukan pembelaan atas keberpihakannya. Akhirnya, yang terjadi justru saling tuding di dunia maya dan tentu bisa mengarah ke konflik bahkan kekerasan verbal.

Ketiga, Fanatisme buta. Hal yang membahayakan ialah fanatisme buta. Karena, saat orang fanatik ia siap melakukan apa saja untuk membela kelompoknya, sekalipun dengan melakukan diskriminasi hingga mengintimidasi lawan.

Jika sikap fanatik buta sudah tertanam di hati akan melahirkan sikap intoleran terhadap orang yang dinilai tidak sesuai dengan apa yang diyakini. Perlu diketahui bahwa fanatisme bukan hanya persoalan keyakinan agama, tetapi juga berupa keyakinan dan keberpihakan yang berlebihan terhadap suatu kelompok tertentu.

Keempat, Konflik Vertikal. Konflik vertikal merupakan konflik antar pihak yang memiliki kedudukan tidak sejajar.

Seperti pemerintah dengan masyarakat. Jika isu ini, tidak ditanggapi dengan bijak. Tentu bisa menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah dengan masyarakat itu sendiri. Bahkan, isu ini bisa memicu demonstrasi langsung yang lebih besar.

Evaluasi Bersama

Konflik sosial, sejatinya memang sebuah bentuk dari gejala sosial yang terjadi karena adanya interaksi manusia. Bahkan konflik menjadi suatu keniscayaan. Karena setiap orang bisa saja, sengaja atau tidak sengaja bertentangan dengan orang lain, ataupun dengan dirinya sendiri

. Namun, dalam konflik yang paling penting ialah sebuah penyikapan dan cara penyelesaian. Jangan sampai, upaya-upaya yang digunakan untuk menyelesaikan tetapi malah menimbulkan persoalan baru, atau malah menimbulkan kekerasan. Tentu kita tidak ingin ini terjadi.

Jika melihat bagaimana respon masayarakat terkait isu ini, tentu responnya sudah menunjukkan polarisasi, hingga hoaks dan ujaran kebencian, bahkan perusakan privasi. Tentu ini bukan hal baik, apalagi di tengah pandemi. Setiap orang perlu saling merangkul untuk tumbuh bersama dan menghadapi pandemi.

Namun, pemerintah sebagai orang yang menerima kritik ini tentu perlu segera melakukan evaluasi, bukan membiarkan polarisasi di masyarakat semakin berlarut-larut.

Begitu pula sebagai pengguna dunia maya, dengan isu seperti ini. Tentu kita perlu objektif dan menggunakan pisau analisa untuk memahami isu. Kemudian, mengutarakan pendapat bukan dengan dasar suka tidak suka, tetapi dengan dasar tepat atau tidak tepat sehingga penyikapan lebih bijaksana dan tidak cenderung berpihak. Karena, di tengah banjir informasi hari ini, nalar kritis kita tetap harus berfungsi dengan baik, agar tidak mudah terperangkap dalam isu. (*)

Baca juga: Sebut Pemerintah Zalim dan Tak Takut Covid-19, Wanita Ini Minta Maaf Mengaku Hanya Bercanda

Baca juga: Hotline Semarang : Apakah Jenazah Terpapar Covid-19 Masih Menularkan Virus?

Baca juga: Fokus : Rem Darurat

Baca juga: Kemenhub Angkat Bicara Kabar 20 TKA China Masuk Indonesia saat PPKM Darurat: Jangan Percaya Hoaks

Berita Terkini