Oleh Nining Susanti *)
TEPAT hari Minggu, Tanggal 15 Agustus 2021, Badan Pengawas Pemilu kabupaten/kota berusia 3 tahun.
Dalam struktur kelembagaan penyelenggara pemilu di Indonesia, Bawaslu kabupaten/kota merupakan lembaga negara permanen termuda yang keberadaannya disahkan lewat amanah dalam UU no.7 tahun 2017.
Jika ditengok lebih dalam,cikal bakal lembaga pengawas pemilu ini awalnya adalah Pengawas pemilu kabupaten/kota yang eksistensinya dalam dunia kepemiluan di Indonesia diawali dari terbentuknya Panitia Pengawas Pelaksanaan (panwaslak) Pemilu pada tahun 1982 yang bersifat ad hoc.
Tahun 2017, Undang-Undang kepemiluan berubah. Pasal 89 ayat 3 Undang-Undang No.7 tahun2017 berbunyi, “ Bawaslu, Bawaslu Propinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap “. Konstruksi pasal ini memposisikan Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/kota menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat permanen (tetap) dengan masa jabatan 5 tahun.
Memasuki usia 3 tahun, menarik untuk memperbincangkan eksistensi Bawaslu Kabupaten/Kota.
Pengawasan Pemilu serentak 2019, menjadi batu ujian pertama eksistensi Bawaslu kabupaten/Kota. Disusul kemudian dengan pengawasan Pilkada serentak 2020 yang digelar dalam kondisi bencana non alam berupa pandemi covid 19.
Suksesnya pengawasan pemilu serentak 2019, sedikit banyak membuat masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan Bawaslu kabupaten/kota. Ekspektasi ini berlanjut pada pengawasan Pilkada serentak 2020. Performa dan kinerja Bawaslu Kabupaten/kota yang prima diharapkan akan memenuhi ekspektasi publik.
Namun, Tidak banyak publik yang memahami bahwa ada beberapa perbedaan kewenangan yang mendasar di kedua perhelatan demokrasi ini. Misalnya dalam penanganan pelanggaran, pada rezim pemilu, Bawaslu Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk melakukan proses adjudikasi sengketa proses pemilu di wilayah kabupaten/kota apabila mediasi yang dilakukan sebelumnya belum bisa menyelesaikan sengketa proses pemilu. Keputusan dari proses adjudikasi ini final dan mengikat. Kewenangan ini membuat performa Bawaslu Kabupaten/Kota moncer, karena tidak hanya menangani sengketa protes pemilunya namun juga sebagai pihak yang memutus hasil akhirnya.
Contoh kedua, Pada rezim pemilu, Putusan Bawaslu Kabupaten/kota berkekuatan hukum untuk segera ditindaklanjuti oleh KPU kabupaten/kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 UU No 7 tahun 2017. Pada Rezim Pilkada, putusan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat rekomendasi sehingga KPU Kabupaten/kota bisa segera melaksanakan atau sebaliknya.
Perbedaan regulasi Pemilu dan Pilkada, pada akhirnya akan mempengaruhi performa dan kinerja Bawaslu Kabupaten/Kota.
Persoalan Menghadapi Pemilu dan Pilkada Serentak 2024
Menyongsong pemilu serentak dan Pilkada serentak 2024, ada dua hal penting mendasar yang dihadapi oleh Bawaslu Kabupaten/Kota yaitu proses seleksi dan penguatan kewenangan.
Proses seleksi anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang dilantik pada tahun 2018 seharusnya dilaksanakan tahun 2023. Namun saat ini, muncul wacana agar proses seleksi dipercepat di tahun 2022 dengan argumentasi agar tidak mengganggu tahapan Pemilu dan Pilkadaserentak 2024 yang tahapannya akan segera dimulai pada awal tahun 2022.
Wacana kedua yang berkembang, masa jabatan Bawaslu Kabupaten/Kota diperpanjang hingga tahun 2025. Alasannya, karena proses seleksi memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, melakukan seleksi lembaga penyelenggara pemilu di masa pandemi covid 19, dianggap tidak sensitif terhadap kondisi keuangan negara saat ini.
Selain itu proses seleksi diprediksi mengganggu konsentrasi anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam melakukan pengawasan tahapan karena tenaga dan pikirannya akan terfokus pada proses seleksi.
Hal mendasar lain dari wacana perpanjangan ini, Pemilu dan pilkada serentak 2024 membutuhkan penyelenggara pemilu yang terlatih, mumpuni dan punya pengalaman yang luas dalam pengawasan pemilu dan pilkada yang diprediksi akan kompleks dengan persoalan-persoalan regulasi dan teknis. Dengan begitu, negara tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk melakukan peningkatan kapasitas, karena sumber daya manusia yang ada sudah dididik dan dilatih sejak tahun 2018.
Namun, wacana perpanjangan masa jabatan Bawaslu Kabupaten/Kota juga menyisakan persoalan karena wacana yang berkembang pasca tahun 2025, kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota akan kembali ad hoc. Jika ini ditempuh tentunya harus ada perubahan undang-undang pemilu karena secara eksplisit UU no 7 tahun 2017 sebagaimana yang diulas diatas mengamanatkan lembaga penyelenggara pemilu ini bersifat permanen atau tetap.
Persoalan lainnya, rawan gugatan dari masyarakat terkait legalitas anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang akan menguras tenaga dan konsentrasi bahkan dampak lebih lanjut akan mencederai legalitas hasil pemilu/pilkada. Kecuali, pemerintah mengeluarkan produk hukum untuk memayungi kebijakan perpanjangan masa jabatan ini.
Solusi menghadapi ini, proses seleksi ini bisa saja tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang seharusnya. Namun, dilaksanakan dalam tempo yang singkat dan seefisien mungkin dari sisi pendanaan. Ketua dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang berintegritas, mempunyai kinerja yang baik dan memenuhi persyaratan yang ditentukan bisa direkrut kembali dan yang tidak memenuhi kriteria tersebut bisa digantikan oleh pendaftar lain. Hal ini untuk menjaga agar pelaksanaan pengawasan Pemilu dan Pilkada tetap digawangi oleh sumber daya pengawas yang berkualitas, kompeten dan berintegritas.
Persoalan mendasar kedua yang dihadapi oleh Bawaslu Kabupaten/kota yaitu, perlu dilakukan penguatan kewenangan dibeberapa tahapan. Pertama, Tahapan pencalonan, baik pada penyelenggaran Pemilu maupun Pilkada, Bawaslu Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan pada tahapan penjaringan dan penetapan calon dari partai politik, hal ini karena proses politik ini dianggap sebagai kegiatan internal partai. Sementara, tahapan ini rawan terjadi transaksi politik antara bakal pasangan calon dengan partai-partai politik yang mengusung. Termasuk meningkatkan trend calon tunggal dalam penyelenggaraan Pilkada serentak titik awalnya dimulai dari tahapan ini.
Kedua, Pengawasan dana kampanye, Pengawasan dana kampanyemenjadi urgent dilakukan karena ini menjadi salah satu factor pemicu terjadinya praktek korupsi yang dilakukan pasangan calon setelah memenangkan kontestasi kepala daerah. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan kewenangan pengawasan di tahapan ini. Berdasarkan regulasi yang ada pada pemilu serentak 2019 dan Pilkada 2020, kewenangan Bawaslu Kabupaten/Kota hanya terbatas pada sisi administrasi dan prosedur kepatuhan penerimaan pelaporan dana kampanye.
Bawaslu secara yuridis tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan kroscek/meneliti/menfaktualkan data-data yang dilaporkan. (*)
*). Nining Susanti, M.I.Kom (anggota Bawaslu Kota Semarang)