"Loncatnya tidak sampai keluar, hanya di saluran pembatas antara kolam buaya dan lokasi pengunjung," terangnya.
Jika dalam kondisi bertelur, Warsidi pun selalu siaga setiap pagi. Apalagi jika menetas, dirinya mesti sigap untuk mengamankan anak buaya agar tidak dimangsa oleh sang jantan.
Itu pun bukanlah pekerjaan mudah. Selain induk betina yang sensitif, dirinya juga mesti memisahkan anak buaya ke kolam lain untuk dirawat terpisah.
Sedangkan kesulitan lainnya jika buaya mati biasanya tak bergerak dalam beberapa hari dan diselimuti oleh banyak lalat.
Mengurus buaya, Warsidi pulalah yang bertugas memberi makan setiap buaya.
Saat ini, ia memberi makan buaya dua kali dalam seminggu, tepatnya di hari Selasa dan Jumat.
Biasanya, jika semua rampung, perlahan dirinya merapikan tempat buaya hingga membersihkan halaman dari ilalang.
Namun, siapa yang menduga. Pekerjaan ekstrim ini, Warsidi hanya diupah Rp 350.000 hingga Rp 400.000 setiap minggunya.
Bahkan saat awal pandemi lalu, gajinya pun sempat dipotong setengah.
Dengan raut wajah sedih, Warsidi mencoba mengingat kembali bagaimana saat alm. pemilik pertama memerhatikan betul kondisi buaya dan karyawan.
"Kalau saya ngerawat buaya itu seperti milik sendiri. Cuman beratnya itu doang, hidup disini sudah tidak ada jaminannya. Memang rumah, listrik, air tidak bayar, tetapi kan ada resikonya juga," terangnya.
Ayah dari dua anak ini pun hanya bisa mengenang masa-masa alm pemilik pertama yang tak hanya memerhatikan buaya, melainkan karyawan pula.
Perubahan yang drastis, sepeninggalan pemilik pertama pula yang membuat banyak rekan kerja Warsidi termasuk pawang buaya mengundurkan diri dan memilih bekerja di tempat lain.
"Teman saya yang dari awal 15 orang sudah keluar semua. Saya juga masih bingung ini. Mau tetap bertahan karena belum ada batu loncatan. Soalnya pengalaman saya hanya mengurus buaya," paparnya.
Warsidi juga masih berat hati jika keluar dari pekerjaannya saat ini.