Baik Santosa maupun Nuryanto, mengaku anak-anaknya tak berminat meneruskan profesi orang tuanya. Mereka memilih bekerja di sektor lain, atau merantau ke kota.
"Anak zaman sekarang apa mau turun ke sawah," katanya
Tetapi mereka tetap berharap ada generasi yang menjaga matapencaharian itu sehingga tak punah.
Tetapi jika tidak ada yang mau meneruskan, mereka terpaksa akan menjual kerbau-kerbau itu ke tengkulak.
Ini sekaligus akan mengakhiri tradisi mengolah lahan yang diwariskan secara turun temurun dengan kearifan lokal. Bajak kerbau benar-benar bakal tinggal kenangan.
Santosa memutus pembicaraan sejenak. Ia mengembuskan asap rokok sambil menatap kosong. Ia mengenang desanya saat masih banyak petani memelihara kerbau.
Banyak petani mahir mengendalikan kerbau membajak sawah yang masih subur.
Di masa kecilnya itu, ia suka menaiki punggung kerbau sambil memainkan seruling.
"Waktu kecil menunggang kerbau sambil bawa suling, " kata Santosa
Sukarman (62), warga Rt 4 Rw 1 Desa Jenggawur sebenarnya belum mau meninggalkan profesi lamanya itu.
Puluhan tahun ia menjadi operator bajak kerbau untuk menghidupi keluarganya.
Meski semangatnya masih menggebu, fisiknya merapuh. Kakinya sakit sehingga tak kuat untuk menjalani pekerjaan berat itu.
Ia terpaksa menjual kerbau-kerbaunya ke tengkulak dan menanggalkan profesinya.
"Saya sejak kecil suka merawat hewan, "katanya
Memiliki kerbau bagi dia punya keuntungan ganda. Berbeda dengan ternak lain, kerbau bisa dipakai sebagai alat kerja untuk membajak sawah.
Ia mencontohkan, saat ini, jasa bajak kerbau dihargai Rp 100 ribu per hari. Jika borongan, operator bisa meraup Rp 1,2 juta untuk membajak sawah setiap bahunya atau seluas sekitar 7500 meter persegi.