OPINI

OPINI Aldi Aditya : Parade dan Hari Jadi Banyumas

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pusaka Banyumas berupa tombak Kiai Genjring, keris Kiai Gajah Endro, Keris Kiai Nalapraja, dan Kitab Stambul di kirab dalam rangka Hari Jadi ke-449 Banyumas, Minggu (16/2/2020).

Oleh Aldi Aditya

Dosen Prodi Bahasa Indonesia Unsoed

KABUPATEN Banyumas memperingati hari jadi setiap tanggal 22 Februari. Sebagai bagian dari perayaan hari jadi tersebut, digelar prosesi Kirab Pusaka di tengah Kota Purwokerto.

Perayaan Hari Jadi Banyumas bukanlah sesuatu yang sudah lama dilakukan, melainkan baru diinisiasi pada tahun

1988.
Dalam tulisan berjudul “The role of a Javanese burial ground in local government” (Peran permakaman Jawa bagi pemerintah lokal), George Quinn mencatat bahwa pada tahun tersebut bupati ke-28 Banyumas, Kolonel (Inf.) Djoko Sudantoko, membentuk panitia khusus untuk menentukan tanggal resmi hari jadi Banyumas.

Pansus yang diketuai Karsidi tersebut baru menyiarkan hasil kerjanya pada 14 November 1989. Dalam sebuah seminar, pansus menyatakan hari jadi Banyumas bertepatan dengan diangkatnya Jaka Kaiman menjadi bupati pertama pada 12 Rabiulawal 900 H atau 6 April 1582 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Banyumas lewat Perda no.2 Tahun 1990.

Akan tetapi, tanggal tersebut kemudian diralat oleh Perda no. 10 Tahun 2015 sehingga HUT Banyumas berubah menjadi 22 Februari. Alasan utamanya, pansus tahun 1988 tidak menyertakan naskah Kalibening sebagai sumber sejarah penentuan hari jadi.

Berubah tanggal

Meski tanggalnya berubah, perayaan HUT Banyumas pertama kalinya pada 1990 membentuk format prosesi yang masih bertahan hingga kini.

Ada empat agenda utama dalam perayaan, yaitu ziarah, upacara peringatan, kirab, dan pertunjukan kesenian.

Gelaran kirab terakhir adalah tahun 2020. Pada tahun 2021, di tengah pandemi COVID-19, prosesi dipadatkan pada kegiatan yang dianggap inti saja seperti ziarah dan upacara.

Kirab ditiadakan karena dilarangnya masyarakat berkumpul dalam jumlah besar di tengah wabah.

Absennya kirab pada saat pandemi bisa memberikan jeda untuk merenungi apa itu parade dan fungsinya di tengah-tengah sebuah masyarakat.

Kirab atau parade adalah prosesi yang muncul hampir di seluruh dunia. Di Amerika Serikat yang merupakan negeri para pendatang, parade merupakan cara untuk mengingat akar atau nenek moyang, misalnya lewat parade imigran Norwegia, Irlandia, atau Iran.

Parade juga merupakan sarana untuk menonton/mempertontonkan tubuh dan membentuk pengelompokan ras. Di Inggris pada abad ke-19, digelar exhibisi yang memamerkan suku asli Afrika, Amerika, atau Asia.

Dengan menonton pameran tubuh tersebut, warga (orang kulit putih) bisa menyatakan bahwa “saya berbeda dengan mereka—Mereka adalah orang liar (savages), sementara saya beradab (civilized)”.

Di Indonesia sendiri, parade juga lazim dilakukan, baik secara sporadis (rute, pakaian, unsur-unsurnya ditentukan manasuka) atau terstruktur (terencana secara mendetail).

Setiap bulan Ramadan, hampir selalu ada parade spontan, pawai atau arak-arakan pada malam takbiran.

Ada juga parade yang dilakukan dengan sistematis seperti Gotong Toa Pe Kong di Slawi atau pawai ogoh-ogoh di Bali. Pawai seperti itu menyediakan ruang berkumpul bagi warga untuk merangkai kebersamaan.

Rute kirab

Bagaimana dengan parade atau kirab pusaka di Banyumas? Parade merupakan sarana untuk mengonstruksi identitas lokal. Di dalam kirab pusaka ada sesuatu yang dipertontonkan. Kirab dimulai dari rumah dinas wakil bupati dengan menampilkan pusaka kabupaten: tombak Kiai Genjring, keris Kiai Nala Praja, keris Kiai Gajah Endra, dan kitab Stambul.

Seperti kegiatan resmi lain di Indonesia, kirab dibuka dengan upacara dan pemberian sambutan, tetapi tidak terlupa pula pertunjukan tarian tradisional Banyumas.

Pusaka daerah yang terdapat di depan barisan dibawa dengan penuh khidmat kemudian disusul berturut-turut oleh lambang kabupaten, umbul-umbul, empat pusaka, gambar dan foto para bupati Banyumas dari masa ke masa, serta kereta kuda yang mengangkut representasi putra-putri wisata (kakang dan mbekayu).

Di dalam barisan kirab juga terdapat kelompok-kelompok yang menampilkan beragam suguhan kesenian yang dianggap merepresentasikan kesenian khas Banyumas, dengan mengenakan ragam pakaian tradisional pilihan masing-masing.

Dengan begitu, peserta parade tampil membawa simbol masa lalu yang unik untuk ditonton banyak orang. Pengalaman menonton Kirab Budaya adalah pengalaman membedakan penonton dan peserta parade.

Penonton mewakili kehidupan sehari-hari, biasa, masa kini, sementara peserta parade mewakili peristiwa sekali waktu, unik, lampau. Lewat perbedaan tersebut, penonton akan memaknai dan membayangkan bahwa itulah yang disebut sebagai “kebudayaan Banyumas”.

Jangan lupa bahwa barisan kirab bukanlah entitas tunggal. Ia berada di jalanan, sebuah unsur penting untuk memaknai parade. Makna dan hidupnya parade di sebuah kota bergantung pada rute yang diambilnya.

Rute kirab pusaka adalah pusat bisnis dan komersial (central business district-CBD) Kota Purwokerto, yaitu Jalan Jenderal Soedirman. Dengan rute itu, dapat terlihat bahwa kirab pusaka tidak lepas dari bayangan kota sebagai titik utama konsumerisme modern.

Industri kebudayaan

Dengan melibatkan industri kebudayaan di dalamnya, kota menjadi episentrum tempat memancar dan mengalirnya simbol-simbol identitas.

Kota menjadi objek konsumsi langsung ketika dijadikan tujuan wisata, dengan dipengaruhi aktor atau unsur-unsur budaya yang termediasi secara komersial seperti parade atau kirab pusaka.

Oleh karena itu, entitas kebudayaan Banyumas tersebut tidak pernah stabil karena kirab yang mengusung simbol-simbol masa lampau berada di latar kota yang modern.

Bayangan atau imaji yang muncul saat menonton kirab bersifat anakronistik atau tak sesuai: simbol-simbol lampau seperti pusaka, foto para bupati terdahulu, kereta kuda, pakaian dari zaman Mataram, membaur dengan bangunan fisik modern seperti trotoar, jalan, mal, pusat perbelanjaan, alat transportasi modern, dan area CBD.

Kirab Pusaka berandil dalam membentuk pengetahuan mengenai kebudayaan Banyumas secara terus-menerus. Kirab merupakan performa kebudayaan, sebuah kegiatan luar biasa di luar kegiatan sehari-hari untuk memelihara ingatan tentang masa lalu dan menghubungkan masyarakat Banyumas saat ini dengan sejarah. Hubungan tersebut diikat oleh makam, ritual, dan simbol-simbol dari masa lalu dan kemudian semuanya dihadirkan sekaligus dalam kirab. (*)

Baca juga: 15 Fungsi Alquran Bagi Umat Islam

Baca juga: Ajukan Klaim JHT Kini Bisa Melalui Aplikasi JMO, Batas Maksimal Saldo Rp 10 Juta

Baca juga: Suami Nikahi Babby Sitter Setelah Sebulan Cerai, Mawar AFI: Dia Sendiri yang Bawa ke Rumah

Baca juga: Muncul Pesan Berantai Ajakan Mogok Produksi, Perajin Tahu-Tempe di Kartasura Tak Ikut, Ini Alasannya

Berita Terkini