Etika Ruang Publik
Era digital dengan adanya media sosial membuat kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijunjung tinggi di negara demokrasi ini pada praktiknya mengalami disfungsi.
Pasalnya jika mengamati pola komunikasi publik, media sosial seringkali dibanjiri dengan komentar-komentar negatif berupa ujaran kebencian.
Apalagi jika menyinggung soal perbedaan SARA, kuatnya sentimen dan kebencian sangat riskan menimbulkan konflik dan perpecahan.
Media sosial dalam konteks demokrasi, berfungsi sebagai medium interaksi dan bertukar informasi serta wadah bagi diskursus ide dan gagasan.
Namun ketika masyarakat masih dikuasai fanatisme kelompok serta sikap intoleransi, tentu hal tersebut akan sulit terwujud. Penggunaan media sosial apabila tidak dilandasi dengan etika dan sikap toleran, tentu sulit menjadi ruang publik yang sehat, yang dapat menciptakan keharmonisan.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, publik diramaikan dengan kebijakan baru Kementerian Agama yang tertuang dalam SE No SE 05 Tahun 2022 soal pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Peraturan yang menimbulkan pro dan kontra ini berakibat pada kegaduhan di media sosial. Banyak pengguna berkomentar sinis terhadap akun instagram @kemenag_ri.
Umpatan dan kata-kata kotor dilontarkan kepada menteri secara personal maupun kementerian secara organisasi.
Pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah ialah hal wajar dalam negara demokrasi. Bahkan hal tersebut diperlukan untuk kritik dan evaluasi program.
Akan tetapi, bagaimana jika komentar lewat media sosial tidak dilandasi dengan etika dan kebijaksanaan? Maka yang hadir di sana bukanlah pertukaran argumen atau gagasan, melainkan perang sentimen yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
Kondisi ini tentunya seperti yang tersirat dalam tamsil yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad ketika Isra Mikraj. Bahwa proses kehidupan dunia akan diwarnai dengan golongan yang suka mengumpat, mencela, dan menggunjingkan orang lain.
Tamsil dalam peristiwa Isra Mikraj ini sejatinya memberi peringatan kepada masyarakat digital untuk dapat menjaga lisan dan jari agar tidak mengeluarkan kata-kata kotor kepada sesama pengguna media sosial.
Sebagaimana tugas utama Nabi Muhammad yang diutus oleh Allah tidak lain ialah untuk menyempurakan ahlak umat manusia. Maka momen Isra Mikraj menjadi saat yang tepat untuk meneladani karakter dan kepribadian Nabi, terutama menyangkut relasi sosial dengan sesama.
Dengan begitu, sudah semestinya proses komunikasi di media sosial tetap mengutamakan etika dan kebijaksanaan, sehingga diskursus dalam ruang publik digital ini mampu berjalan sehat berdasarkan nilai-nilai persatuan dan persaudaraan. (*)
Baca juga: OPINI Riza Maulana : Jangan Lengah Pandemi Belum Berakhir
Baca juga: OPINI Waliyadin : Menimbang Penghapusan Penjurusan di SMA
Baca juga: OPINI Aloys Budi Purnomo : Pejuang Green Economy
Baca juga: OPINI Aldi Aditya : Parade dan Hari Jadi Banyumas