Berita Banyumas

Uripah Tetap Bertahan Produksi Tahu di Tengah Harga Kedelai yang Tak Kunjung Turun

Penulis: Imah Masitoh
Editor: sujarwo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Uripah produsen tahu di Sokaraja Tengah RT 3 RW 7, Banyumas tepatnya gerumbul Muntuk tetap bertahan produksi tahu di tengah harga kedelai yang tak kunjung turun, Senin (7/3/2022).

TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS – Podusen tahu di Sokaraja Tengah RT 3 RW 7, Banyumas, tepatnya Gerumbul Muntuk ini tetap bertahan meskipun harga kedelai hingga sekarang tidak kunjung turun.

Sempat ikut mogok produksi pada 21-

Uripah produsen tahu di Sokaraja Tengah RT 3 RW 7, Banyumas tepatnya gerumbul Muntuk tetap bertahan produksi tahu di tengah harga kedelai yang tak kunjung turun, Senin (7/3/2022). (Tribun Jateng/Imah Masitoh)

23 Februari lalu produsen tahu di Muntuk ini tidak bisa berbuat banyak.

“Dulu ikut mogok kerja ngga jualan 3 hari, ya mau beli apa-apa susah soalnya pendapatan dari membuat tahu saja,” ungkap Uripah (57) produsen tahu.

Uripah sudah betahun-tahun menggantungkan perekonomian keluarganya pada produksi tahu yang diturunkan dari orang tuanya.

Hingga sekarang ia menjual tahu produksinya di Pasar Sokawera, Somagede, Banyumas.

Ia menjual berbagai macam jenis tahu seperti tahu goreng atau tahu garing, tahu putih, tahu kuning, dan tahu mendho.

Sejak harga kedelai naik omset tahu yang dijualnya tidak seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkannya.

Pelanggannya tetap tidak menginginkan harga tahu ikut naik juga seperti harga kedelai.

Padahal harga kedelai sekarang mencapai Rp. 11.500 perkilogramnya, yang semula hanya Rp. 7.000 perkilogram.

“Sekarang apa-apa naik tapi pembeli tetap ngga mau naik. Harga kedelai sekarang Rp. 11.500 dulu paling Rp. 7.000-Rp. 8000. Dulu Rp. 8.000 sudah mahal sekali loh,” terangnya.

Untuk menghindari tahu yang dijualnya tersisa banyak, tak jarang ia menurunkan harga tahunya agar pembeli tetap mau membeli.

Akhir-akhir ini tahu yang diproduksi hanya terjual setengahnya saja setiap harinya di pasar. 

Sering kali ia mendapati kekecewaan akibat tahunya yang tidak habis terjual. Terpaksa ia harus membawa pulang tahunya kembali.

Dengan jarak yang lumayan jauh dari rumahnya ia membawa beberapa keranjang besar berisi tahu, berangkat pukul 05.00 pagi dengan menggunakan angkutan umum.

“Jualan kalau ngga laku, rugi ya ngga papa. Biasanya Rp. 2.500 ya saya kasih Rp. 2.000 lah. Saya bawa ke pasar 12 masakan paling terjual setengahnya saja,” keluhnya saat diwawancara.

Tahu yang tidak laku terjual akan di goreng, atau direbus kembali untuk dapat dijual esok harinya.

Tahu yang dibuatnya dapat bertahan hingga 3 hari saja mengingat dalam membuatnya tidak menggunakan pengawet.

Seringnya tahu yang dijual tidak habis, ia terpaksa mengurangi produksi tahunya.

Sebelum kenaikan kedelai ia mampu memproduksi tahu sebanyak 70-75 kilogram per harinya.

Sekarang ia hanya mampu memproduksi 12 masakan atau sebanyak 50 kilogram per hari.

“Sehari paling 50 kilo dulu 70-75 kilo. Sekarang 50 kilo juga masih banyak yang ngga kejual,” ungkapnya.

Selain mengurangi jumlah produksi, ia juga mengecilkan ukuran tahu yang diproduksinya agar tidak mengalami kerugian yang besar.

Hal ini juga dikarenakan pembeli yang tidak mau dinaikan harga tahunya.

Sebenarnya ia bisa menyiasati kedelai yang mahal sekarang ini dengan mencampur bahan tahunya menggunakan kedelai impor dan lokal dengan perbandingan khusus.

Namun saat ini kedelai lokalpun tidak ada sama sekali untuk ia dapatkan. Sehingga ia sepenuhnya menggunakan kedelai impor dalam memproduksi tahunya.

Sementara itu harga kedelai impor lebih mahal dari pada kedelai lokal. 

“Pakai kedelai impor kalau lokal tahunya agak pahit. Kalau ada kedelai lokal bisa dicampur, kedelai impor 4 kilo dan kedelai lokalnya 1 kilo. Harganya mahalan impor dan kedelai lokal malah ngga ada,” jelasnya.

Limbah dari produksi tahunya juga ia manfaatkan untuk dapat dijual meskipun dengan harga yang sangat murah dan tidak dapat membantu biaya produksi.

Kebutuhan lain seperti membeli minyak goreng dan kayu bakar belum terhitung di biaya produksinya.

“Ampas yang masih bersih biasa bisa dijual lagi buat demplo kalau yang kasar buat makan sapi. Satu lempeng cuma Rp. 6.000,” ungkapnya.

Kedelai murah menjadi harapan Uripah dan suaminya tetap bertahan produksi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada pekerjaan lainnya yang dapat ia lakukan karena memproduksi tahu sudah ia jalani bertahun-tahun dan menjadi pekerjaan tetapnya. 

Di usianya yang sudah tidak muda lagi ia masih membutuhkan biaya untuk dapat menyelesaikan pendidikan anak bungsunya yang saat ini masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Ia mengungkapkan di daerahnya produsen tahu saat ini berkurang dibanding dulu. Hal ini dikarenakan generasi sekarang yang kurang berminat untuk meneruskan menjadi produsen tahu.

“Kesel langka bathine,” pungkasnya dalam wawancara. (*)

Berita Terkini