Saat Bandung Jadi Lautan Api Selama 7 Jam, Rakyat dan Tentara Membuat Sekutu yang Datang Bengong
TRIBUNJATENG.COM - Hari ini, 76 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 23 Maret 1946, Bandung membara karena dibakar sebagai bentuk pertahanan terakhir rakyat Indonesia dari sekutu.
Setelah meraih kemerdekaan, ternyata kondisi keamanan dan pertahanan Indonesia masih belum benar-benar stabil
Perjuangan masih harus dilakukan.
Kondisi di daerah masih didominasi oleh perebutan kekuasaan serta pertempuran.
Salah satu pertempuran yang terjadi setelah kemerdekaan terjadi di Bandung yang dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api.
Bagaimana kisah Bandung Lautan Api?
Dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia VI (2008) karya Djanoed Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto, melalui laman Kemdikbud, 17 Februari 2017, Bandung Lautan Api diawali dengan datangnya pasukan sekutu di bawah Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945.
Sejak semula, hubungan antara pemerintah RI setempat sudah memanas.
Sekutu meminta seluruh senjata api yang dimiliki penduduk, kecuali milik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Polisi diserahkan kepada Sekutu.
Ultimatum pengosongan wilayah Bandung Utara
Kondisi Bandung semakin memanas saat orang-orang Belanda yang baru saja bebas dari kamp tahanan mulai mengacaukan keamanan.
Akibatnya, bentrokan antara tentara Sekutu dengan TKR tidak dapat dihindari. Pertempuran panjang dimulai.
Pada malam 24 November 1945, TKR, dan badan-badan perjuangan lainnya melancarkan serangan terhadap markas-markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu.
Tiga hari setelah penyerangan markas Sekutu, MacDonald menyampaikan ultimatumnya kepada Gubernur Jawa Barat agar segera mengosongkan wilayah Bandung Utara oleh seluruh warga Indonesia termasuk pasukan bersenjata
Ultimatum tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya pukul 12.00, pada 29 November 1945.
Dengan adanya ultimatum tersebut, Sekutu membagi kota Bandung Utara menjadi wilayah kekuasaan mereka sedangkan Bandung Selatan kekuasaan pemerintah RI.
Pertempuran semakin sporadis
Ultimatum dijawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat.
Selama Desember terjadi beberapa pertempuran antara lain, Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki dan Viaduct.
Sekutu berusaha merebut Balai Besar Kereta Api, namun usaha tersebut gagal. Sekutu juga berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater.
Selain itu, sekutu juga terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar.
Memasuki awal 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis.
Selama pertempuran berlangsung, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia.
Salah satu serdadu India yang membelot di antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di jalan Fokker (sekarang jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946.
Tak lama kemudian, pihak Sekutu menghubungi Panglima Divisi III Jenderal AH Nasution meminta agar pasukan India tersebut diserahkan kembali kepada Sekutu.
Tetapi Nasution menolak.
Bukan hanya untuk mengembalikan pasukan India semata, tetapi juga untuk mengadakan pertemuan dengan pihak Sekutu.
Serangan-serangan sporadis dari pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah membuat posisi Sekutu semakin terdesak.
Kemudian sekutu memutar otak dengan melakukan pendekatan terhadap pihak petinggi pemerintahan RI.
Maret 1946, menolak ultimatum Pada 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat-lambatnya pada pukul 24.00, 24 Maret 1946, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota.
Menanggapi ultimatum tersebut, Syahrir menugasi Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung. Baik Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintah menolak ultimatum, sebab, sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat.
Mereka menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta agar batas ultimatum diperpanjang.
Sementara itu, pihak Sekutu terus menyebarkan pamflet berisi tentang berita ultimatum tersebut.
Sore hari pada 23 Maret 1946, Nasution ikut ke Jakarta bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir.
Dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran, Syahrir mendesak Nasution agar memenuhi ultimatum tersebut.
Syahrir berpendapat bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu.
Membumihanguskan Bandung
Esok harinya, Nasution kembali ke Bandung untuk sekali lagi melakukan negosiasi terkait penundaan pelaksanaan ultimatum.
Namun, tentara Sekutu tetap pada pendiriannya menolak penundaan ultimatum.
Sebaliknya, Nasution juga menolak tawaran sekutu yang hendak meminjamkan seratus truk untuk membawa pasukan Indonesia ke luar kota.
Dalam pertemuan yang diadakan Nasution dengan para Komandan TRI, para pemimpin laskar dan aparat pemerintahan dicapai kesepakatan untuk membumihanguskan Bandung sebelum kota itu ditinggalkan.
Menurut rencana, bumi hangus akan dilakukan pada 24 Maret pukul 00.00. Ternyata, bumi hangus dilaksanakan lebih awal yakni pukul 21.00.
Gedung pertama yang diledakkan ialah Bank Rakyat.
Disusul dengan pembakaran tempat seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega. Anggota TRI membakar sendiri asrama-asrama mereka.
Dilansir Kompas.com, 21 Agustus 2020, pembakaran dilakukan bersamaan dengan keluarnya mereka dari Bandung.
Peristiwa tersebut dilakukan oleh 200 ribu orang dalam waktu 7 jam.
Hal tersebut membuat sekutu tidak dapat memakai Bandung sebagai markas militer.
Akibat pembakaran tersebut, seketika itu Bandung dipenuhi dengan api yang berkobar.
Oleh karena itu peristiwa tersebut dikenal dengan Bandung Lautan Api.
Keputusan membumihanguskan Bandung
Dikutip dari Harian Kompas, 1 April 1987, selain tentara, rakyat juga membakar rumahnya masing-masing.
Semua jalan keluar mulai dari selatan Cimahi sampai Ujungberung di timur, dipenuhi oleh rakyat yang mengungsi, terutama jalan Dayeuhkolot dan Margahayu.
Ada puluhan ribu rakyat yang hanya membawa sedikit harta yang bisa diselamatkan.
Hujan turun rintik-rintik sepanjang malam, langit terang benderang oleh lautan api, dan udara dipenuhi oleh ledakan dan tembakan.
Peristiwa itu disambut Yogyakarta dengan protes, mengapa Bandung tidak dipertahankan sampai titik darah terakhir?
Nasution mengatakan bagaimanapun Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang hanya punya 100 pucuk senapan efektif, tidak mungkin dapat menangkis Divisi ke-23 dalam ruangan yang begitu sempit.
Kalau memang harus jatuh, lebih baik sekutu hanya menerima puing-puingnya saja sementara TRI tetap dapat utuh dan melanjutkan gerilya dalam kota setiap malam.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Mengenang 76 Tahun Bandung Lautan Api, Ini Penyebab Bandung Dibakar