Pada 19 Agustus 2018, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB), Sutopo Purwo Nugroho tidak memungkiri bahwa Gunung Anak Krakatau itu sedang dalam masa pertumbuhan.
Dengan kata lain, gunung ini akan masih terus aktif untuk tumbuh besar dan tinggi dengan melakukan erupsi.
Meski begitu, energi letusannya tidak besar.
"Sangat kecil sekali peluang terjadi letusan besar seperti letusan ibunya yaitu Gunung Krakatau pada 1883. Bahkan beberapa ahli mengatakan tidak mungkin untuk saat ini. Jadi tidak perlu dikhawatirkan," tegasnya.
Sejak munculnya Gunung Anak Krakatau 1929, para ahli gunung api mencurahkan perhatiannya dan bahkan khawatir kemungkinan akan terjadi kembali letusan besar seperti 1883.
Tetapi kemungkinan tersebut dibantah dengan berbagai alasan, di antaranya berdasarkan komposisi kimia batuan hasil letusan Gunung Anak Krakatau saat ini.
"Bemmelen (1949) berpendapat bahwa kemungkinan letusan katastropis dapat terulang kembali apabila komposisi kimia batuan hasil letusan, berubah dari magma basa (SiO2 rendah) ke magma asam (SiO2 tinggi). Ia juga menegaskan bahwa letusan berbahaya bagi Krakatau umumnya diawali masa istirahat ratusan tahun untuk pengumpulan energi baru"
"Seperti telah diterangkan sebelumnya bahwa pertumbuhan Gunung Anak Krakatau sangat cepat membangun tubuhnya dengan endapan piroklastik dan lava. Dari beberapa aktivitas letusan tersebut, terutama dari setiap letusan magmatik, diambil sampelnya untuk dianalisis kimia batuan"
Pada November 1992 hingga Juni 2001, Gunung Anak Krakatau meletus terus-menerus hampir setiap hari.
Bahkan hampir setiap 15 menit sekali, melontarkan piroklastik lepas jenis skoria berukuran abu, pasir, lapilli sampai bom vulkanik, dan beberapa letusan diakhiri dengan leleran lava.
Setiap leleran lava tersebut dipetakan dalam Peta Geologi.
Apabila peningkatan persentase silika ini terjadi secara konsisten dan diasumsikan meningkat satu persen dalam sepuluh tahun, maka untuk mencapai 68 % (komposisi asam) dibutuhkan waktu 140 tahun.
Bammelen menegaskan bahwa letusan berbahaya bagi Krakatau umumnya diawali masa istirahat ratusan tahun untuk pengumpulan energi baru.
Dilansir dari kompas.com, jauh sebelum peneliti asing menulis tentang meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, seorang pribumi telah menuliskan kesaksiaan yang amat langka dan menarik, tiga bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair Lampung Karam.
Peneliti dan ahli filologi dari Leiden University, Belanda, Suryadi mengatakan hal itu kepada Kompas di Padang, Sumatera Barat, dan melalui surat elektroniknya dari Belanda, Minggu (31/8).